Ujian Fiskal Kaltim 2026: Jurus Berkreasi di Tengah Badai Pemangkasan DBH
Keputusan pemerintah pusat memangkas signifikan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Kalimantan Timur (Kaltim) pada tahun anggaran 2026 menjadi tamparan keras bagi rencana pembangunan daerah. Angka yang beredar menunjukkan penurunan drastis, dari yang biasanya berkisar Rp 10 triliun-an menjadi sekitar Rp 2,49 triliun. Pemangkasan yang mencapai 75 persen ini memaksa Pemerintah Provinsi Kaltim dan kabupaten/kota untuk segera merombak total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026.
Kaltim, sebagai salah satu lumbung energi dan sumber daya alam (SDA) nasional, seharusnya mendapatkan porsi yang adil dan proporsional. Namun, kebijakan efisiensi transfer ke daerah (TKD) secara nasional, yang berimbas parah pada daerah penghasil seperti Kaltim, menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen terhadap prinsip desentralisasi fiskal dan keadilan bagi daerah penyangga ekonomi. Penurunan tajam ini dikhawatirkan mengganggu program-program prioritas, mulai dari infrastruktur konektivitas, pengembangan sumber daya manusia, hingga pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan gratis.
Langkah yang diambil Pemprov Kaltim untuk melakukan lobi dan memprotes kebijakan ini adalah hal yang wajar. Namun, kini saatnya fokus beralih dari protes ke solusi konkret dan kreatif. Badai fiskal 2026 adalah ujian sesungguhnya bagi kemandirian fiskal Kaltim.
Pertama, Pemprov harus cermat melakukan reposturing anggaran. Penyesuaian harus dilakukan dengan menakar ulang urgensi setiap kegiatan. Proyek-proyek yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat atau yang tidak terikat janji politik esensial harus ditunda atau diefisienkan volumenya. Komitmen menjaga program prioritas seperti pendidikan dan kesehatan gratis, seperti yang disampaikan Pemprov, adalah keharusan yang harus dijaga dengan pengorbanan di sektor lain.
Kedua, Pemprov wajib memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ketergantungan pada DBH dari SDA yang tidak terbarukan harus segera diimbangi dengan diversifikasi sumber pendapatan. Digitalisasi layanan pajak dan retribusi, intensifikasi pengelolaan aset daerah, serta penciptaan iklim investasi yang kondusif harus menjadi prioritas utama untuk mendongkrak PAD secara signifikan. Ini adalah momentum untuk membuktikan bahwa Kaltim tidak hanya kaya sumber daya alam, tetapi juga mampu mengelola potensi ekonominya sendiri.
Ketiga, diperlukan sinergi yang lebih kuat dengan pihak swasta dan program nasional, terutama terkait keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan anggaran daerah yang terbatas, Pemprov perlu secara agresif menarik investasi swasta untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi daerah. Selain itu, peluang pendanaan dari program-program kementerian/lembaga pusat yang beririsan dengan pembangunan IKN dan Kaltim harus dimaksimalkan.
Tahun 2026 akan menjadi tahun yang sulit. APBD Kaltim akan diuji di tengah kebutuhan pembangunan yang tinggi, ditambah peran sebagai penopang IKN. Namun, di setiap kesulitan selalu ada peluang. Badai pemangkasan DBH ini harus dilihat sebagai cambuk untuk bertransformasi: dari daerah yang bergantung pada transfer pusat, menjadi daerah yang berdaulat secara fiskal, cerdas berinvestasi, dan berorientasi pada peningkatan PAD. Kegigihan dan kreativitas kepemimpinan daerah sangat dipertaruhkan demi menjaga denyut nadi pembangunan Kaltim.
Salam redaksi
Setia wirawan