Subscribe

Tangisan di Kuali Kosong : Kisah Pilu Asal – Usul Pesut Mahakam

3 minutes read

Di sepanjang tepian Sungai Mahakam yang lebar, dahulu kala hiduplah sebuah keluarga. Ada seorang ayah, sepasang anak, laki-laki dan perempuan, dan seorang ibu yang baik hati. Tapi takdir berkata lain, sang ibu dipanggil Tuhan lebih dulu.

Sang ayah, yang dilanda kesedihan, tak lama kemudian menikah lagi dengan seorang penari dari desa seberang. Sayangnya, ibu tiri ini, meski wajahnya cantik jelita, hatinya sekeras batu dan menyimpan iri hati. Ia tak pernah suka melihat kedua anak tirinya.

Setiap hari, anak-anak itu diperlakukan dengan kejam. Mereka sering disuruh bekerja berat, mencari kayu bakar ke dalam hutan rimba, dan kalau pulang, makanan mereka hanya sisa-sisa. Bahkan tak jarang mereka dipukul dan dihukum.

Suatu hari, sang ayah pergi ke ladang dan berpesan kepada istrinya agar memasak nasi di periuk besar, karena ia akan pulang membawa banyak hasil panen. Tapi si ibu tiri punya niat jahat. Ia malah mengisi kuali dengan air, membiarkannya mendidih, lalu memasukkan baju kotor anak-anak ke dalamnya, seolah-olah itu nasi yang sedang dimasak.

Ketika kedua anak itu pulang dari hutan, lapar sekali. Mereka melihat periuk di dapur berasap dan mencium aroma masakan, walaupun samar. Mereka mengira itu nasi yang dimasak untuk mereka. Saking laparnya, mereka langsung menyendok dan memakan “nasi” itu tanpa melihat isinya. Tapi, alangkah terkejutnya mereka!

“Ini bukan nasi, Kak! Ini baju kotor!” seru si adik sambil menangis.

Si kakak hanya terdiam. Air matanya menetes. Mereka sadar, ibu tiri mereka benar-benar ingin menyakiti mereka. Dengan hati hancur, mereka lari. Lari menjauhi rumah, menjauhi kekejaman yang tak terperi.

Mereka berlari ke arah sungai. “Kita tak bisa pulang, Dik. Ibu tiri pasti akan marah besar,” kata si kakak.

Mereka terus berjalan ke tepi Mahakam. Di sana, mereka berdoa. Berdoa dengan air mata, memohon agar mereka diubah menjadi sesuatu yang bisa hidup tenang di air, jauh dari siksaan.

Doa anak-anak yang teraniaya itu didengar oleh penguasa sungai.

Perlahan, kaki mereka mulai menyatu, berubah menjadi sirip. Kulit mereka berubah menjadi abu-abu kebiruan. Tubuh mereka memanjang dan mengecil. Dalam sekejap, kedua anak itu berubah wujud! Mereka menjelma menjadi sepasang mamalia air yang berwajah bulat, ikan yang ramah.

Sementara itu, sang ayah pulang dengan hasil panen melimpah. Ia mencari anak-anaknya. “Cepat hidangkan nasi di kuali!” katanya pada istri.

Betapa murkanya ia saat melihat yang dimasak istrinya hanyalah baju kotor. Ia tahu, pasti anak-anaknya pergi. Ia bergegas mencari.

Saat sampai di tepi sungai, dilihatnya dua ekor ikan aneh sedang berenang sambil melompat-lompat. Ikan itu, setiap kali muncul ke permukaan, seolah memanggil-manggil dengan suara yang menyerupai tangisan.

“Ayah… Ayah…”

Sang ayah mengenali suara itu. Air matanya pecah. Ia sadar, kedua ikan itu adalah jelmaan anak-anaknya. Ia menangis sejadi-jadinya, menyesali kebodohannya yang lebih percaya pada rayuan istri baru daripada darah dagingnya sendiri.

Namun, penyesalan sudah terlambat. Kedua anaknya tak bisa kembali. Mereka sudah menjadi bagian dari sungai.

Sejak saat itulah, ikan yang berwajah bulat, pendiam, dan pemalu itu disebut Pesut Mahakam. Konon, bila ada pesut muncul dan melompat di permukaan air, itu artinya ia sedang mengingat masa lalunya sebagai anak manusia.

Itu sebabnya, sampai hari ini, orang-orang Dayak dan Kutai yang tinggal di sepanjang Mahakam sangat menghormati Pesut. Mereka percaya, Pesut adalah jelmaan roh yang harus dijaga. Tak ada yang berani menyakiti Pesut Mahakam, karena mereka bukan sekadar ikan, tapi adalah saudara yang dikutuk oleh takdir.

Begitulah, Nak. Kisah ini bukan sekadar dongeng. Ia adalah pengingat bagi kita semua, agar selalu menyayangi keluarga dan menjaga titipan Tuhan di alam, termasuk si Pesut yang kini makin langka. Karena setiap yang ada di alam, punya cerita, punya roh. (tim redaksi nusaetamnews.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *