Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah, Pendekar Pena dari Ranah Minang
Nama Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (1900–1969) kini bersanding dengan para tokoh besar bangsa sebagai Pahlawan Nasional yang baru ditetapkan. Pengakuan tertinggi dari negara ini adalah puncak dari perjuangan panjangnya yang dimulai dari keprihatinan mendalam terhadap nasib kaum perempuan di masa penjajahan, di mana pendidikan formal kerap menjadi hak eksklusif kaum pria.
Titik Balik Sang Pemberani (1900–1923)
Rahmah lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1900, dari keluarga ulama terkemuka. Ayahnya adalah Syaikh Muhammad Yunus, dan kakaknya, Zainuddin Labay El Yunusy, adalah pendiri Diniyah School.
Meskipun berasal dari lingkungan terpelajar, Rahmah merasakan sendiri ketidakpuasan dengan sistem pendidikan yang tidak memberi ruang memadai bagi perempuan. Pada usia remaja, ia sempat menikah, namun kemudian memilih untuk bercerai pada tahun 1922. Perceraian ini menjadi titik balik. Ia kembali ke Padang Panjang dengan tekad bulat: memperjuangkan hak pendidikan penuh bagi kaum wanita.
“Mendidik seorang wanita berarti mendidik seluruh manusia.”
— Rahmah El Yunusiyyah
Mendirikan Diniyyah Puteri: Sekolah Khusus Perempuan Pertama
Pada usia 23 tahun, tepatnya 1 November 1923, Rahmah mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan Madrasah Diniyah Puteri di Padang Panjang. Lembaga ini tercatat sebagai sekolah Islam modern khusus perempuan pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Rahmah meyakini bahwa perempuan harus memiliki sistem pendidikan tersendiri yang sesuai dengan fitrah dan peran mereka. Kurikulum yang ia terapkan sangat progresif: memadukan ilmu agama yang mendalam dengan ilmu pengetahuan umum dan keterampilan yang menunjang kemandirian. Ia ingin mencetak generasi perempuan yang tidak hanya berilmu dan berakhlak, tetapi juga tangguh dan siap menjadi “ibu pendidik yang cakap” bagi bangsanya.
Perjuangan Rahmah membangun sekolah ini tidaklah mudah. Ia harus menghadapi gempa bumi yang menghancurkan gedung sekolah pada tahun 1926 dan tantangan dari pemerintah kolonial Belanda, termasuk menentang dua ordonansi, yaitu Ordonantie Kawin Bercatat dan Ordonantie Sekolah Liar pada 1932.
Peran Krusial dalam Masa Revolusi
Kiprah Rahmah tidak berhenti di ruang kelas. Selama masa penjajahan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, Diniyyah Puteri berubah menjadi basis perjuangan.
- Zaman Pendudukan Jepang: Ia memimpin Haha No Kai (Barisan Ibu-ibu) di Padang Panjang, yang bergerak menentang keras eksploitasi dan tuntutan Jepang yang menjadikan gadis remaja sebagai jugun ianfu (wanita penghibur), bahkan menuntut penutupan rumah bordil.
- Masa Revolusi: Ia menyediakan tempat perlindungan dan unit pasokan logistik untuk mendukung para pejuang Republik melawan Belanda. Karena aktivitasnya ini, ia sempat ditahan oleh otoritas Belanda selama tujuh bulan pada tahun 1949.
Pengakuan Dunia: Gelar Syekhah dari Al-Azhar
Perjuangan Rahmah diakui hingga kancah internasional. Pada tahun 1957, saat berkunjung ke Mesir, Universitas Al-Azhar menganugerahinya gelar kehormatan “Syekhah”. Gelar ini sangat bersejarah karena merupakan yang pertama kali diberikan kepada seorang perempuan oleh lembaga pendidikan Islam tertua di dunia tersebut.
Bahkan, Diniyyah Puteri yang ia dirikan menginspirasi Universitas Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Banat (Fakultas khusus Perempuan). Syekhah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah wafat pada 26 Februari 1969. Warisannya, Perguruan Diniyyah Puteri, terus eksis dan berkembang hingga saat ini, melahirkan tokoh-tokoh besar termasuk pahlawan nasional lainnya, H.R. Rasuna Said. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2025 menjadi penanda pengakuan abadi negara atas jasanya yang tak terhingga dalam mencerdaskan dan memajukan harkat martabat perempuan Indonesia. (setia wirawan/berbagai sumber)