Sujud Terakhir di Bawah Reruntuhan: Duka Mendalam Tragedi Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo
SENIN sore (29/9), azan Asar berkumandang, menyeru ratusan santri di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, untuk menunaikan salat berjemaah. Bagi banyak dari mereka, bangunan musala tiga lantai yang masih dalam tahap konstruksi itu adalah tempat ibadah, tempat menuntut ilmu, dan rumah. Namun, dalam hitungan detik setelah mereka bersujud, bangunan itu bergemuruh.
Itu adalah detik-detik mengerikan yang mengubah tawa dan doa santri menjadi teriakan histeris dan tangis pilu. Musala yang fondasinya diduga belum kuat, terutama pada bagian yang sedang dikerjakan, ambruk total, menjebak lebih dari seratus jiwa di bawah timbunan beton, besi cor, dan puing.

Di tengah duka yang mencekam, muncul kisah-kisah luar biasa tentang ketahanan dan pertolongan. Ada cerita tentang Syaiful Rosi Abdillah (13), santri asal Bangkalan. Rosi menjadi korban terakhir yang dievakuasi dalam kondisi hidup setelah tiga hari terjebak di bawah reruntuhan. Kaki kanannya remuk tertindih beton, namun ia bertahan hidup tanpa makan dan minum, hanya ditemani selawat dan istighfar. Sayang, untuk menyelamatkan nyawanya, tim medis terpaksa melakukan amputasi pada kaki kanannya. “Apakah saya bisa punya kaki baru?” tanyanya polos kepada sang ayah setelah operasi, sebuah pertanyaan yang menghancurkan hati.
Ada juga Alfatih, santri lain yang selamat tanpa luka berarti. Ia berhasil bertahan karena tubuhnya tertutup tumpukan pasir, sementara bagian kepalanya terlindung lembaran seng. Ia mengaku sempat melihat lima temannya di sekitarnya sebelum bangunan roboh.
Di sisi lain, tragedi ini juga melahirkan para syuhada. Beberapa jenazah ditemukan dalam posisi sujud, sebuah pemandangan yang memberikan penghiburan sekaligus duka mendalam bagi keluarga. Mereka wafat dalam keadaan terbaik, saat sedang menghadap Sang Pencipta.
Perjuangan Tanpa Henti Basarnas dan Tim Gabungan
Operasi pencarian dan pertolongan yang dipimpin Basarnas tak pernah mengenal lelah. Mereka bekerja 24 jam nonstop untuk menyisir reruntuhan. Tim SAR menggunakan segala cara, mulai dari alat pendeteksi suara (sound detector) hingga mengerahkan alat berat seperti crane dan excavator breaker untuk mengangkat beton raksasa.
“Kami bekerja maksimal dan efektif. Setiap detik berharga,” ujar Yudhi Bramantyo, Direktur Operasi Basarnas selaku SMC, menggambarkan betapa gentingnya situasi. Hingga Minggu (5/10) pagi, total korban yang berhasil dievakuasi mencapai 141 orang. Angka duka terus meningkat dengan tragis, mencatat 37 santri meninggal dunia dan 104 orang lainnya selamat.
Kendala Identifikasi: Menambah Kepedihan Keluarga
Ironisnya, proses identifikasi menjadi tantangan terberat. Dari puluhan jenazah yang ditemukan, sebagian besar, sekitar 21 korban, belum dapat diidentifikasi karena kondisi jenazah yang sudah memburuk akibat tertimbun puing dalam waktu lama.
Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jatim harus bekerja ekstra keras, mengambil sampel DNA dari jenazah dan membandingkannya dengan data keluarga. Proses ini diperkirakan memakan waktu hingga dua atau tiga minggu, memperpanjang masa penantian dan kepedihan para orang tua yang datang dari berbagai daerah, berharap anak-anak mereka adalah salah satu dari yang selamat, bukan salah satu dari yang tak teridentifikasi.
Tragedi Al-Khoziny adalah duka nasional. Ini bukan hanya tentang runtuhnya sebuah bangunan, melainkan tentang runtuhnya harapan dan mimpi puluhan keluarga. Saat tim evakuasi terus mencari, seluruh negeri ikut berdoa, berharap tidak ada lagi nama yang ditambahkan ke daftar korban, dan semoga semua jenazah dapat segera kembali ke pangkuan keluarga untuk dikebumikan dengan layak. (setia wirawan/berbagai sumber)