Sinyal Bahaya DBH Kaltim: Saatnya Pengusaha “Membaca” Risiko Fiskal Pemda dan Mengambil Alih Kemudi Investasi
Oleh: Setia Wirawan (Pengamat Investasi dan Analis Bisnis Kaltim)
Bagi para pelaku usaha dan investor yang telah lama berkecimpung di Kalimantan Timur (Kaltim), kabar pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) bukanlah cerita baru, melainkan siklus berulang yang sayangnya selalu datang di waktu yang tidak tepat. Di tengah euforia proyek IKN dan potensi pertumbuhan ekonomi baru, pemangkasan DBH kembali memicu pertanyaan kritis: Apakah Pemerintah Daerah (Pemda) Kaltim masih menjadi mitra yang kredibel dan stabil dalam pembangunan infrastruktur pendukung bisnis?
Ketika “Gaya” Pembangunan Terpaksa “Ganti Kopling”
DBH adalah sumber pendanaan vital bagi Pemda Kaltim untuk membangun dan memelihara infrastruktur dasar—jalan, jembatan, pelabuhan, dan jaringan energi. Infrastruktur inilah yang menjadi tulang punggung mobilitas logistik dan efisiensi biaya operasional bagi sektor usaha, mulai dari perkebunan di Paser hingga tambang di Kutai Timur.
Dampak pemotongan DBH bagi pengusaha adalah:
- Kemunduran Proyek Infrastruktur: Penundaan atau pembatalan proyek multiyears Pemda. Hal ini berakibat langsung pada melonjaknya biaya logistik dan waktu tempuh barang/komoditas (misalnya CPO, batubara, atau hasil pertanian) dari lokasi produksi ke pelabuhan.
- Kualitas Pelayanan Publik Menurun: Potensi penurunan kualitas pelayanan perizinan dan dukungan non-teknis dari dinas terkait karena adanya pemotongan anggaran operasional.
- Ketidakpastian Kemitraan: Investor yang berharap pada public-private partnership (PPP) atau Viability Gap Funding (VGF) dari Pemda untuk proyek-proyek besar (misalnya air bersih atau energi terbarukan) menjadi ragu karena stabilitas kas daerah terancam.
“Kami, para pengusaha, tidak bisa lagi bergantung pada janji anggaran daerah yang bersumber dari komoditas volatil. Kami harus mengantisipasi bahwa proyek jalan yang dijanjikan tahun depan mungkin baru selesai tiga tahun lagi, bahkan dibatalkan.”
Membaca Risiko dan Peluang di Tengah Krisis Fiskal
Ancaman pemotongan DBH ini, seberat apapun dampaknya, harus dibaca oleh pengusaha sebagai sinyal untuk perubahan strategi investasi:
A. Mandiri dalam Infrastruktur Logistik
Perusahaan-perusahaan besar, khususnya di sektor sumber daya alam dan pengolahan (seperti kelapa sawit dan smelter), harus mempertimbangkan investasi yang lebih besar pada infrastruktur internal mereka. Ini termasuk:
- Pembangunan jalan khusus sendiri.
- Pengembangan dermaga/pelabuhan jetty privat yang lebih andal daripada pelabuhan umum yang tergantung pada pemeliharaan Pemda.
- Pembangunan pembangkit listrik mandiri atau beralih ke energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada jaringan PLN yang sering terganggu oleh masalah fiskal daerah.
B. Fokus pada “Hilirisasi Hijau”
Pemda kini akan semakin kesulitan mendanai program insentif hilirisasi. Oleh karena itu, investor harus memanfaatkan insentif yang bersifat nasional dan ramah lingkungan. Investasi harus diarahkan ke sektor yang memiliki nilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor, seperti:
- Bio-energi dan Green Refinery yang mengolah CPO menjadi produk berkelanjutan.
- Pengolahan mineral (misalnya nikel atau bauksit) yang memanfaatkan gas alam sebagai sumber energi, alih-alih batubara.
- Agribisnis modern yang terintegrasi dari hulu ke hilir dengan dukungan teknologi mandiri.
C. Kawasan Industri sebagai Solusi
Investor harus memprioritaskan penanaman modal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau Kawasan Industri (KI) yang memiliki otoritas pengelolaan mandiri, seperti Kariangau atau Buluminung, daripada di area yang infrastrukturnya sepenuhnya bergantung pada APBD Pemda. Kawasan-kawasan ini menawarkan stabilitas perizinan dan dukungan infrastruktur yang lebih terjamin karena regulasi pusat dan manajemen swasta yang terlibat.
Kesimpulan: Mendorong Kemandirian Fiskal dari Sektor Swasta
Pemotongan DBH bukanlah akhir dari Kaltim, tetapi harus menjadi titik balik. Ini mendorong sektor swasta untuk menjadi penggerak utama pembangunan infrastruktur pendukung, alih-alih sekadar menunggu Pemda.
Pemda Kaltim, sebagai regulator, kini harus fokus penuh pada penyederhanaan perizinan (memastikan OSS berjalan tanpa hambatan birokrasi lokal) dan stabilitas hukum. Biarkan sektor swasta mengambil peran kepemimpinan dalam pembangunan fisik yang membutuhkan dana besar. Hanya dengan sinergi di mana pengusaha berani mandiri dan Pemda fokus melayani, Kaltim akan mampu bertahan melewati turbulensi DBH dan benar-benar memanfaatkan peluang IKN di depan mata. ****