Secara Nasional Berkurang, Ditingkat Regional Migas Masih Menjadi Pilar Finansial Yang Vital

Kontribusi sektor migas terhadap keuangan negara mencerminkan perubahan signifikan dalam postur fiskal Indonesia selama satu dekade terakhir. Secara makro, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas menunjukkan penurunan proporsional yang tajam. Jika pada tahun 2015 PNBP migas mencapai 14% dari APBN, pada Agustus 2015 proporsinya turun drastis menjadi hanya 5%. Penurunan proporsi ini menunjukkan bahwa ketergantungan fiskal nasional terhadap volatilitas harga komoditas global dan kinerja sektor hulu migas telah berkurang, yang memberikan stabilitas makroekonomi yang lebih baik.
Namun, situasi berbeda terjadi di tingkat regional. Bagi provinsi-provinsi penghasil migas utama, seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau, Dana Bagi Hasil (DBH) Migas tetap menjadi pilar finansial yang vital. Kontribusi DBH Migas di daerah-daerah ini bahkan dapat mencapai 25% hingga 40% dari total pendapatan daerah. Ketergantungan fiskal daerah yang tinggi ini menciptakan ketidakseimbangan, di mana risiko ekonomi regional masih sangat terikat pada fluktuasi kinerja dan harga migas. Oleh karena itu, penurunan produksi atau harga secara signifikan dapat langsung memengaruhi kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan. Hal ini menunjukkan perlunya diversifikasi ekonomi regional dan penguatan kapasitas Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam mengelola hak partisipasi (Participating Interest – PI) 10% untuk mengurangi ketergantungan pasif pada mekanisme DBH.
Tren Kinerja Gas Bumi dan Isu Moneterisasi Gas
Berbeda dengan minyak yang mengalami tantangan penurunan produksi, sektor gas bumi justru menunjukkan tren kenaikan produksi dalam dua tahun terakhir. Kontribusi gas bumi menjadi semakin penting bagi ketahanan energi nasional dan industrialisasi.
Namun, peningkatan produksi gas harus selalu diimbangi dengan kepastian penyerapan oleh konsumen. SKK Migas menekankan bahwa menjaga stabilitas penyerapan gas oleh industri, kelistrikan, dan konsumen lainnya adalah kunci untuk memaksimalkan produksi. Jika penyerapan gas tidak stabil, potensi kenaikan produksi gas tidak akan termonetisasi secara optimal.
Kalimantan Timur (Kaltim) memainkan peran sentral dalam moneterisasi gas ini. Berbagai proyek gas strategis tengah dipersiapkan di Kaltim, termasuk pengembangan gas yang ditargetkan berproduksi pada 2028 untuk dialirkan ke Bontang guna memenuhi kebutuhan energi PLN dan industri petrokimia. Selain itu, proyek pengembangan gas di Penajam ditargetkan mulai mengalirkan gas ke Pertamina Pengolahan Balikpapan pada pertengahan 2025, yang bertujuan meningkatkan suplai gas bagi industri pengolahan minyak bumi.7 Mini LNG di Berau juga disiapkan sebagai pendorong ekonomi baru, menandakan pergeseran strategis dalam pemanfaatan gas bumi.
Posisi Kaltim sebagai Pusat Produksi dan Ekonomi Regional
Kalimantan Timur secara historis dan saat ini tetap menjadi salah satu pusat utama kontribusi migas dan komoditas energi bagi perekonomian nasional. Ekonomi Provinsi Kaltim pada Triwulan II-2024 (y-on-y) tumbuh sebesar 5,85%, melampaui pertumbuhan nasional sebesar 5,05%.8 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Kaltim pada triwulan tersebut mencapai Rp 214,64 triliun. Secara regional, Kaltim mendominasi struktur perekonomian Pulau Kalimantan dengan peranan mencapai 47,77%.
Meskipun wilayah Kalimantan dan Sulawesi (Kalsul) menghadapi tantangan produksi, dengan realisasi minyak hingga November 2024 mencapai 70,1 MBOPD—di bawah target 9—Wilayah Kerja (WK) utama Kaltim, seperti WK Mahakam (dioperasikan oleh Total E&P Indonesia, kini di bawah PHM) dan WK Sanga-Sanga (dioperasikan oleh PHSS), merupakan pilar produksi minyak dan gas yang krusial.
Strategi Moneterisasi Gas dan Dukungan Infrastruktur Hilir
Kontribusi strategis Kaltim saat ini terletak pada pengembangan gas untuk mendukung industrialisasi dan ketahanan energi domestik, sebuah bentuk kontribusi yang lebih bernilai tambah daripada sekadar ekspor minyak mentah. Fasilitas infrastruktur hilir di Kaltim memainkan peran kunci, terutama Kilang Bontang. Kilang Bontang memiliki nilai historis sebagai salah satu pionir moneterisasi gas bumi menjadi LNG untuk tujuan ekspor sejak dekade 1970-an, dan kini terus berperan penting dalam pasokan LNG untuk kebutuhan domestik.11
Proyek pengembangan gas baru di Kaltim, termasuk pasokan gas ke Kilang Pengolahan Balikpapan dan fasilitas LNG Bontang, memperkuat peran Kaltim sebagai enabler ketahanan energi domestik. Hal ini juga menunjukkan adanya pergeseran fokus migas Kaltim dari orientasi ekspor murni menuju pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri.7
Mekanisme dan Prinsip Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Migas
Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) migas merupakan komponen penting dalam Transfer Ke Daerah (TKD). Mekanisme perhitungan DBH didasarkan pada prinsip by origin, yang berarti daerah penghasil penerimaan negara mendapatkan bagian atau persentase yang lebih besar.
Berdasarkan regulasi yang berlaku, daerah penghasil migas mendapatkan persentase tertentu dari PNBP migas yang dihasilkan. Untuk minyak bumi, persentase DBH yang dialokasikan kepada daerah penghasil adalah 15%, sementara untuk gas bumi, persentasenya lebih besar, yakni 30%. Mekanisme ini bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada daerah yang menanggung dampak lingkungan dan sosial dari kegiatan operasi migas, sekaligus mendorong pembangunan di wilayah tersebut. (SW/berbagai sumber)