Samarinda: Kontras Harta Karun dan Kantong Kemiskinan Kota Kaya
Samarinda, Ibu Kota Kalimantan Timur, sering dibanggakan sebagai gerbang ekonomi regional, kota yang kaya sumber daya alam, dan kini makin “seksi” karena bertetangga langsung dengan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, di balik kemilau Jembatan Mahakam dan hiruk-pikuk pusat perbelanjaan, ada fakta yang sering luput dari timeline media sosial: kemiskinan masih eksis di jantung kota.
Data menunjukkan, wilayah seperti Samarinda Utara dan Samarinda Ilir masih menampung ribuan warga yang hidup dalam keterbatasan. Ini bukan lagi soal desa terpencil di pedalaman, tapi tentang kesenjangan yang terjadi di bawah hidung kita. Kenapa ini bisa terjadi?
Sinyal Bahaya: Jebakan Sektor Informal
Masalah utama kemiskinan perkotaan di Samarinda adalah mayoritas warga miskin terjebak dalam sektor informal. Mereka adalah buruh harian, pedagang kecil, atau pekerja serabutan dengan upah yang tak pasti. Ketika ekonomi gonjang-ganjing, atau inflasi mengerek harga kebutuhan pokok (bensin, listrik, pangan), mereka adalah kelompok pertama yang tertekan.
Hal ini diperparah dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Banyak kepala keluarga yang hanya tamat SD, membuat mereka kesulitan mengakses pekerjaan formal dengan gaji layak. Kota ini butuh tenaga kerja skilled untuk industri dan jasa, tetapi yang tersedia adalah pekerja unskilled yang rentan. Ini menjadi lingkaran setan: pendidikan rendah \rightarrow pekerjaan informal \rightarrow pendapatan rendah \rightarrow sulit mengakses pendidikan lebih baik.
Pembangunan Infrastruktur vs. Kesejahteraan
Pemerintah Kota Samarinda gencar membangun dan mempercantik infrastruktur fisik. Itu bagus. Namun, ada risiko pembangunan yang terlalu fokus pada aspek fisik tanpa menyentuh fondasi sosial-ekonomi. Percuma jalanan mulus dan jembatan megah jika akses warga miskin ke air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan dasar masih terabaikan.
Kemiskinan di perkotaan juga terkait erat dengan kemiskinan dimensi non-pendapatan. Banyak keluarga miskin masih tinggal di rumah dengan kondisi memprihatinkan, tanpa sanitasi yang layak. Ini adalah ironi di tengah kota yang sebentar lagi menjadi penyangga utama IKN.
Saatnya Upgrade Strategi: Dari Bantuan ke Pemberdayaan
Untuk memutus rantai kemiskinan ini, Pemerintah Kota Samarinda harus melakukan upgrade strategi secara total:
Fokus ke Pendidikan dan Skill-Up: Anggaran harus digeser untuk program pelatihan keahlian yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja Samarinda saat ini (misalnya, digital marketing, basic coding, atau jasa profesional). Berikan beasiswa atau pelatihan vokasi gratis kepada anak-anak dari keluarga miskin agar mereka bisa “lompat kelas”.
Integrasi Data dan Program: Stop program yang jalan sendiri-sendi. Semua instansi harus duduk bersama, menggunakan data kemiskinan yang sama dan real-time (by name by address), dan mengintegrasikan bantuan sosial dengan program pemberdayaan ekonomi lokal.
Dukungan Modal dan Pendampingan UMKM: Berikan akses modal yang mudah dan pendampingan bisnis yang berkelanjutan bagi pelaku usaha mikro informal. Bantu mereka scale-up agar bisa keluar dari jurang pendapatan harian.
Samarinda tidak boleh puas hanya dengan predikat kota yang maju secara fisik. Keberhasilan sejati sebuah kota diukur dari seberapa sedikit warganya yang tertinggal. Sudah saatnya kita bergerak cepat, memastikan bahwa tidak ada lagi kantong-kantong kemiskinan yang tersembunyi, agar kemakmuran IKN benar-benar dirasakan oleh seluruh warga Samarinda, tanpa terkecuali. Kesenjangan sosial adalah bom waktu yang harus segera kita jinakkan.
Salam Redaksi
Setia Wirawan