Samarinda di Persimpangan: Masa Depan Kota di Tangan “Generasi Digital Native”
Kota Tepian, Samarinda, kini berdiri di persimpangan sejarah. Bukan hanya karena statusnya sebagai kota penyangga utama bagi Ibu Kota Nusantara (IKN), tetapi juga karena dominasi demografi yang akan segera mengambil alih kendali: Generasi Z (Gen Z).
Mencapai hampir seperempat dari total pemilih di kota ini, Generasi Z—mereka yang lahir dan tumbuh bersama internet—adalah anugerah sekaligus tantangan terbesar bagi pembangunan Samarinda di masa depan. Nasib penanganan banjir, kualitas SDM, hingga transformasi digital kota ini, semuanya akan bergantung pada bagaimana generasi muda ini memilih untuk berpartisipasi dan memimpin.
Anugerah: Senjata Digital dan Kepedulian Lingkungan
Gen Z Samarinda membawa modal sosial dan teknologi yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Mereka adalah ‘digital native‘ yang fasih menggunakan teknologi untuk berjejaring, menyuarakan pendapat, dan bahkan menciptakan peluang ekonomi.
Potensi ini sudah terlihat nyata. Di tengah isu lingkungan yang mendera Samarinda—mulai dari krisis banjir, polusi, hingga masalah bekas tambang—Generasi Z tampil sebagai penggerak. Mereka secara alami memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi, terlihat dari tren mereka yang mendorong UMKM untuk menjadi lebih ramah lingkungan dan preferensi terhadap thrifting (busana bekas) sebagai gaya hidup berkelanjutan. Kelompok-kelompok ini, yang aktif dalam isu seperti penyelamatan Sungai Karang Mumus, adalah garda terdepan untuk mewujudkan visi Samarinda Kota Hijau dan berkelanjutan.
Selain itu, jiwa kewirausahaan digital yang mereka miliki menjadi kunci. Di tengah kenaikan biaya hidup akibat efek IKN, banyak dari mereka yang mengambil pekerjaan sampingan (side hustle) atau merintis bisnis online. Ini adalah cikal bakal ekosistem ekonomi kreatif yang akan menopang Samarinda, mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam, dan menciptakan lapangan kerja mandiri.
Tantangan: Apatisme, Kualitas SDM, dan Guncangan Ekonomi
Namun, jalan menuju Samarinda emas tidak mulus. Terdapat dua tantangan krusial yang harus segera diatasi.
Pertama, risiko apatisme politik dan sosial. Meskipun jumlah mereka dominan, tingkat partisipasi politik Gen Z masih menjadi pertanyaan. Sikap kritis mereka terhadap kebijakan publik terkadang bercampur dengan sikap skeptis dan keengganan untuk terlibat dalam proses formal. Jika Gen Z tidak merasa terwakili, atau hanya dimanfaatkan sebagai komoditas suara, energi inovatif mereka bisa terpendam dan tidak tersalurkan ke dalam sistem pengambilan keputusan.
Kedua, kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Peran Samarinda sebagai penyangga IKN menuntut SDM yang unggul dan siap bersaing secara global. Sayangnya, kualitas pendidikan dan kesenjangan literasi digital masih menjadi pekerjaan rumah. Jika tidak diatasi, Gen Z Samarinda akan kalah bersaing dengan tenaga kerja yang masuk dari luar daerah, membuat mereka hanya menjadi penonton di rumah sendiri.
Akselerasi untuk Masa Depan
Pemerintah Kota dan seluruh elemen masyarakat harus segera melakukan akselerasi strategis.
- Investasi pada Kualitas, Bukan Kuantitas: Program pendidikan harus fokus pada peningkatan keterampilan digital, critical thinking, dan kemampuan beradaptasi alih-alih sekadar hafalan. Peluang magang dan inkubasi wirausaha yang memanfaatkan teknologi harus diperluas.
- Membuka Ruang Partisipasi Otentik: Libatkan Gen Z dalam perencanaan kota, terutama isu lingkungan dan tata ruang. Salurkan semangat kritis mereka menjadi solusi nyata, bukan hanya gimmick di media sosial.
- Memperkuat Ekosistem Ekonomi Kreatif: Berikan insentif dan pelatihan yang konkret untuk mendorong mereka menjadi wirausahawan digital, sehingga Samarinda tidak hanya menjadi kota konsumtif, tetapi juga produsen inovasi.
Samarinda akan menjadi cerminan dari Generasi Z yang memimpinnya. Jika generasi ini didukung, diberdayakan, dan diberi ruang untuk menyalurkan energi digital dan kepeduliannya, Kota Tepian dapat bertransformasi menjadi kota cerdas, hijau, dan berdaya saing di gerbang IKN. Jika tidak, “masa depan samar” yang ditakutkan akan menjadi kenyataan, di mana pemuda lokal hanya menjadi penonton sunyi di tengah hiruk pikuk kemajuan yang didominasi pendatang. Ini adalah saatnya bagi Samarinda untuk percaya pada potensi Generasi Z—dan bagi Gen Z itu sendiri untuk membuktikan bahwa mereka bukan hanya pewaris kota, tetapi arsitek masa depannya. Setia Wirawan