Samarinda dan Jerat Narkoba yang Seolah Tak Tersentuh
IBU kota Provinsi Kalimantan Timur ini kembali menyandang predikat yang memprihatinkan: wilayah dengan kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba tertinggi di Kaltim. Fakta ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari luka sosial yang menganga, yang setiap hari kita saksikan—atau setidaknya, kita dengar—bahwa transaksi barang haram itu terjadi di ruang publik.
Kita semua tahu, ada “kampung-kampung narkoba” di sudut kota ini. Kita membaca beritanya, bahkan ada anggota dewan yang menyoroti bahwa penjualan narkoba dilakukan secara terang-terangan, nyaris tanpa sembunyi-sembunyi, bak lapak dagang biasa di pasar. Dalam beberapa laporan penggerebekan, terungkap modus ‘loket’ transaksi, di mana pembeli datang bergiliran, bahkan sampai petugas BNN dikira sebagai penjual saking rutinnya aktivitas tersebut.
Maka, muncul pertanyaan yang menggelayut di benak publik: Mengapa peredaran narkoba ini terkesan begitu sulit diberantas oleh aparat, padahal aktivitasnya seolah tak lagi malu-malu kucing?
Pertanyaan ini bukan ditujukan untuk menafikan kerja keras aparat kepolisian maupun BNN yang rutin melakukan penangkapan, bahkan menyita barang bukti bernilai miliaran rupiah. Upaya penindakan terus ada, tetapi mengapa para bandar dan pengecer ini seolah selalu memiliki ruang untuk kembali beroperasi?
Akar Masalah: Tak Hanya Soal Penangkapan
Jawabannya mungkin jauh lebih kompleks dari sekadar masalah ketegasan. Peredaran narkoba di Samarinda sudah bertransformasi menjadi bisnis jaringan yang sangat rapi, terorganisir, dan menggiurkan. Beberapa hal yang menjadi tantangan besar:
Pertama, terkait jaringan yang Sulit Diputus: Para pengedar kini sangat lihai. Mereka menggunakan modus canggih, memasang CCTV untuk memantau kedatangan petugas, dan menyiapkan jalur pelarian yang sulit dijangkau. Bahkan, mirisnya, kendali peredaran disinyalir masih bisa dilakukan dari balik jeruji penjara.
Kedua, Pasar yang Tidak Pernah Mati: Selama ada permintaan, suplai akan selalu mencari jalan. Penindakan hanya akan memangkas ranting, sementara akarnya—yaitu para pengguna dan pecandu—masih terus tumbuh. Pemberantasan yang efektif harus menyentuh target pasar ini. Langkah BNN yang lebih fokus pada upaya rehabilitasi bagi para pengguna adalah pendekatan yang tepat untuk mengurangi permintaan.
Dugaan Perlindungan dan Kendala Internal: Desas-desus di masyarakat tentang adanya oknum yang terlibat, atau kendala dalam sistem hukum, tak jarang turut menyulitkan penindakan yang tuntas. Isu ini, betapapun sensitifnya, perlu dijawab dengan transparansi dan integritas penuh dari seluruh elemen penegak hukum.
Tugas Kita Bersama
Pemberantasan narkoba bukan hanya tugas Polisi atau BNN, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh warga Samarinda.
Pemerintah daerah harus memperkuat sinergi dengan BNN dalam hal pencegahan dan rehabilitasi, termasuk memutus rantai ekonomi yang membuat bisnis haram ini tetap menarik. Pembangunan mental generasi muda melalui keluarga dan sekolah harus menjadi benteng pertama.
Sementara itu, kepada para aparat penegak hukum, kami menitipkan harapan publik: kepercayaan masyarakat dipertaruhkan. Ketika penjualan narkoba sudah berani dilakukan secara terang-terangan, publik mengharapkan penindakan yang tidak sekadar “rutinitas” menangkap pengecer kecil, tetapi tindakan tegas yang berani membongkar jaringan hingga ke bandar besar dan aktor intelektual di baliknya, tanpa pandang bulu.
Samarinda harus bersih. Jangan biarkan generasi kita tenggelam dalam kabut candu, hanya karena ada “pasar gelap” yang terkesan abadi.
Redaksi
Setia Wirawan