Pasca Migas, Bontang Tidak Ditakdirkan Menjadi Kota Mati
Penulis : Drs. H. Nursalam
Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai prospek ekonomi Kota Bontang dalam menghadapi tantangan transisi dari dominasi industri berbasis minyak dan gas (migas). Secara historis, Bontang telah tumbuh sebagai kota industri yang sangat bergantung pada dua entitas besar: PT Pupuk Kaltim dan PT Badak NGL. Ketergantungan ini tercermin dalam struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan fiskal daerah. Analisis menunjukkan bahwa meskipun ekonomi Bontang mencatatkan pertumbuhan impresif, bahkan yang tertinggi di Kalimantan Timur pada tahun 2023 , fondasi pertumbuhan tersebut masih sangat terkonsentrasi dan rentan terhadap penurunan produksi migas di masa depan.
Pemerintah Kota Bontang telah menunjukkan inisiatif proaktif untuk mengatasi risiko ini melalui strategi transisi ekonomi ganda. Pertama, dengan memperpanjang siklus hidup industri migas melalui hilirisasi ke sektor petrokimia. Kedua, dengan mendiversifikasi ke sektor-sektor non-migas yang lebih berkelanjutan, seperti perikanan dan pariwisata. Analisis menunjukkan adanya potensi signifikan di sektor-sektor ini, yang didukung oleh aset alam dan kebijakan perencanaan yang solid. Namun, penulis juga mengidentifikasi tantangan mendasar, seperti kesenjangan antara kebutuhan industri padat modal dengan komposisi angkatan kerja yang dominan di sektor jasa, serta pola migrasi penduduk yang sangat sensitif terhadap ketersediaan lapangan kerja.
Berdasarkan temuan-temuan ini, penulis menyimpulkan bahwa Bontang tidak ditakdirkan menjadi kota mati. Namun, keberhasilan transisi ini tidaklah terjamin dan sangat bergantung pada akselerasi implementasi kebijakan, efektivitas penarikan investasi, dan pengembangan sumber daya manusia lokal. Prognosis ini memberikan optimisme yang hati-hati, menggarisbawahi urgensi tindakan strategis untuk memanfaatkan sisa “bonus migas” dalam membangun fondasi yang tangguh bagi perekonomian yang lebih terdiversifikasi dan inklusif. Rekomendasi strategis utama mencakup penguatan hilirisasi, optimalisasi sektor perikanan dan pariwisata, serta investasi masif pada program peningkatan keterampilan tenaga kerja.
Profil Ekonomi dan Fondasi Industri Kota Bontang
Kota Bontang, yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur, telah lama dikenal sebagai “Kota Industri” berkat peran sentral sektor migas dan petrokimia. Identitas ini tidak lepas dari kehadiran dua industri raksasa, PT Pupuk Kaltim dan PT Badak NGL, yang telah menjadi pilar utama ekonomi kota dan berperan signifikan dalam pembentukan Pemerintah Kota Bontang itu sendiri. Sepanjang perjalanannya, fondasi ekonomi Bontang telah dibangun di atas industri pengolahan yang berbasis sumber daya alam ini.
Kinerja ekonomi makro Bontang mencerminkan dominasi struktural tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa PDRB Kota Bontang pada tahun 2023 mencapai Rp 68,11 triliun (ADHB) dan mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,16%. Sumber lain bahkan menyebut angka pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu 7%. Laju pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi di seluruh Kalimantan Timur pada tahun tersebut, yang secara permukaan memberikan gambaran kesehatan ekonomi yang sangat baik. Namun, ketika dianalisis lebih dalam, struktur PDRB Bontang menunjukkan konsentrasi yang ekstrem pada sektor industri pengolahan yang menyumbang 78,37% dari total PDRB, diikuti oleh sektor pengadaan listrik dan gas yang tumbuh pesat sebesar 17,41%.
Kondisi ekonomi ini mengungkapkan sebuah fenomena yang dapat disebut sebagai paradoks ketergantungan progresif. Meskipun pertumbuhan PDRB saat ini tinggi dan melampaui capaian tahun-tahun sebelumnya, PDRB dengan migas memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan PDRB tanpa migas. Hal ini disebabkan karena produksi migas dan turunannya cenderung menurun dari waktu ke waktu, meskipun komoditas ini merupakan penyumbang PDB/PDRB terbesar. Ini menciptakan situasi di mana kekuatan ekonomi Bontang saat ini, yang berasal dari industri ekstraktif dan pengolahan, justru menjadi sumber kerentanan terbesarnya di masa depan karena sifat sumber daya yang tidak terbarukan.
Selain ketergantungan pada sektor produksi, Bontang juga memiliki ketergantungan fiskal yang signifikan pada sektor sumber daya alam. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Bontang pada tahun 2024 menunjukkan bahwa DBH Sumber Daya Alam (SDA) Minerba (batubara) mencapai Rp 1.133,42 miliar, sementara DBH SDA Gas Bumi sebesar Rp 59,85 miliar. Angka-angka ini jauh melampaui DBH dari sektor lain seperti kehutanan atau perikanan. Kebergantungan ganda ini—pada PDRB dan pendapatan fiskal—menimbulkan risiko besar. Penurunan produksi atau volatilitas harga komoditas global dapat memicu efek domino, tidak hanya pada PDRB dan lapangan kerja, tetapi juga pada kemampuan pemerintah kota untuk membiayai pembangunan dan diversifikasi yang sangat dibutuhkan. Tabel berikut memberikan gambaran yang jelas tentang struktur ekonomi dan fiskal yang mendominasi Kota Bontang.
Tabel 1: Kontribusi PDRB dan Dana Bagi Hasil (DBH) Kota Bontang (2023-2024)
Sektor Ekonomi/Sumber Penerimaan | Nilai (2023) | Persentase Kontribusi (2023) | Catatan |
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) | Rp 68,11 Triliun (ADHB) | N/A | Pertumbuhan 4,16% |
– Industri Pengolahan | N/A | 78,37% | Sektor kontributor terbesar |
– Pengadaan Listrik & Gas | N/A | 17,41% | Sektor dengan pertumbuhan tercepat |
– Jasa Keuangan & Asuransi | N/A | 10,19% | Sektor dengan pertumbuhan tercepat kedua |
Dana Bagi Hasil (DBH) Pusat (2024) | N/A | N/A | Data per Kementerian Keuangan |
– DBH SDA Minerba (Royalti) | Rp 1.133,42 Miliar | 100% realisasi | Kontribusi fiskal dominan dari sumber daya alam |
– DBH SDA Gas Bumi | Rp 59,85 Miliar | 100% realisasi | Kontribusi fiskal yang signifikan dari gas alam |
Analisis Strategi Transisi Ekonomi Pemerintah Kota Bontang
Pemerintah Kota Bontang menyadari risiko struktural yang melekat pada model ekonominya dan telah merumuskan strategi transisi yang holistik. Strategi ini mengadopsi pendekatan ganda: (1) memperpanjang usia ekonomi migas melalui hilirisasi industri, dan (2) membangun sektor-sektor non-migas yang lebih berkelanjutan.
Hilirisasi sebagai Jembatan Transisi
Salah satu pilar utama strategi ini adalah pengembangan Kawasan Industri Petrokimia. Kota Bontang diproyeksikan untuk menjadi “industrial estate” yang berfokus pada migas dan kondensat. Rencana ini didukung oleh analisis yang menunjukkan bahwa
industrial estate merupakan sektor basis yang memiliki potensi baik untuk dikembangkan. Pembangunan kawasan industri ini diarahkan untuk menempatkan pabrik-pabrik yang memiliki keterkaitan dengan industri yang sudah ada, seperti PT Pupuk Kaltim dan PGN LNG Indonesia. Komitmen pemerintah pusat untuk mempercepat proyek pembangunan kilang minyak di Bontang juga menegaskan arah kebijakan ini, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar.
Strategi hilirisasi ini, yang berfokus pada pengolahan komoditas migas menjadi produk dengan nilai tambah lebih tinggi, bukanlah diversifikasi ekonomi dalam arti melepaskan diri dari sektor migas. Sebaliknya, ini adalah sebuah strategi untuk memperpanjang keberlanjutan ekonomi berbasis migas. Langkah ini dapat memberikan waktu yang krusial bagi kota untuk secara paralel membangun dan mematangkan sektor-sektor alternatif yang sepenuhnya berbeda. Namun, hal ini tidak sepenuhnya menghilangkan risiko karena fondasi ekonomi kota tetap terikat erat pada industri yang sama, yang pada akhirnya akan tetap menghadapi tantangan keberlanjutan sumber daya dan volatilitas harga global.
Diversifikasi ke Sektor Non-Migas yang Berkelanjutan
Di sisi lain, pemerintah kota secara aktif menggenjot diversifikasi ke sektor-sektor non-migas untuk menciptakan fondasi ekonomi yang lebih resilient.
- Sektor Maritim dan Perikanan: Bontang memiliki potensi sumber daya perikanan yang melimpah dan beragam, termasuk ikan pelagis dan demersal seperti tongkol, tuna, dan kerapu. Komoditas unggulan dan ikonik bagi kota ini adalah ikan bawis. Guna mengoptimalkan potensi ini, pemerintah berencana mengembangkan industri pengalengan ikan sebagai bagian dari hilirisasi sektor perikanan. Sebuah studi analisis SWOT yang dilakukan oleh DPMPTSP Kalimantan Timur telah mengidentifikasi kekuatan utama rencana ini, yaitu ketersediaan bahan baku dari tangkapan nelayan lokal dan lahan yang sudah dialokasikan untuk zona industri. Namun, studi tersebut juga menyoroti kelemahan, seperti ketergantungan pada bahan baku impor seperti tinplate yang dapat meningkatkan biaya produksi.
- Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Bontang juga berupaya mengubah haluan menjadi kota pariwisata dan maritim. Kota ini memiliki berbagai aset wisata yang unik, termasuk wisata budaya seperti Pesta Laut dan Tari Dalling Bajau , serta destinasi seperti Desa Wisata Bontang Kuala dan Taman Adipura. Dalam menghadapi era pasca-migas, pemerintah kota menekankan penguatan ekonomi kreatif dan ekonomi kerakyatan melalui destinasi wisata kemaritiman. Langkah-langkah strategis telah diambil, termasuk pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) pada akhir tahun 2023 dan penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA).
Meskipun adanya masterplan dan badan promosi menunjukkan landasan perencanaan yang solid, tantangan utama adalah memastikan implementasi yang efektif dan kredibilitas sektor ini di mata publik dan investor. Keberhasilan tidak hanya bergantung pada deklarasi, tetapi pada perbaikan infrastruktur pendukung yang mendesak, seperti akses transportasi dan akomodasi. Selain itu, memastikan manfaat ekonomi dari pariwisata benar-benar dirasakan oleh masyarakat lokal dan pelaku UMKM, bukan hanya segelintir investor besar, menjadi kunci keberlanjutan.
Analisis Dinamika Demografi dan Ketenagakerjaan
Transformasi ekonomi yang sedang berlangsung di Bontang terlihat jelas dalam pergeseran komposisi angkatan kerja. Data BPS menunjukkan adanya penurunan persentase penduduk yang bekerja di sektor industri pengolahan atau manufaktur, dari 22,66% pada tahun 2022 menjadi 21,67% pada tahun 2023. Sebaliknya, persentase penduduk yang bekerja di sektor jasa mengalami peningkatan dari 71,78% menjadi 72,36% dalam periode yang sama. Ini mengindikasikan bahwa Bontang telah mulai bertransisi dari kota industri menjadi kota jasa.
Namun, pergeseran ini juga memperlihatkan adanya ketidaksesuaian yang signifikan antara sektor yang mendominasi PDRB dan sektor yang menyerap angkatan kerja terbanyak. Industri pengolahan menyumbang hampir 78,37% PDRB , sementara sektor jasa menyerap sekitar 72% tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa industri pengolahan di Bontang, khususnya migas dan petrokimia, bersifat padat modal (
capital-intensive) dan bukan padat karya (labor-intensive). Artinya, pertumbuhan PDRB yang tinggi dari sektor ini tidak secara otomatis menciptakan lapangan kerja yang sepadan. Di sisi lain, sektor jasa, meskipun menyerap sebagian besar tenaga kerja, cenderung menawarkan upah yang lebih rendah atau memerlukan keterampilan yang berbeda. Kesenjangan struktural ini menjadi risiko serius di era pasca-migas. Ketika industri pengolahan utama mulai menyusut, sektor jasa yang saat ini ada mungkin tidak dapat mengimbangi hilangnya pekerjaan tersebut, yang berpotensi memicu stagnasi ekonomi dan peningkatan pengangguran.
Dinamika ini diperkuat oleh tren migrasi penduduk yang sangat reaktif terhadap kondisi pasar kerja. Data migrasi menunjukkan pola yang berfluktuasi dan kontradiktif. Sebuah sumber mencatat peningkatan tren migrasi keluar dari tahun 2020 hingga 2022, di mana jumlah warga yang pindah keluar jauh lebih besar daripada yang datang. Sebaliknya, data yang lebih baru untuk periode 2024-2025 menunjukkan bahwa jumlah pendatang justru sedikit lebih banyak daripada yang pindah keluar. Faktor utama di balik perpindahan penduduk ini adalah pekerjaan. Ketidakcocokan data ini mencerminkan dinamika ekonomi yang sangat sensitif terhadap ketersediaan lapangan kerja. Peningkatan migrasi keluar di awal 2020-an mungkin merupakan respons terhadap ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi, sementara tren yang lebih positif pada 2024-2025 bisa jadi merupakan respons terhadap pemulihan ekonomi dan proyek-proyek baru. Ini juga menjadi peringatan bahwa Bontang harus terus-menerus menciptakan lapangan kerja yang berkualitas agar tidak mengalami brain drain dan kehilangan sumber daya manusia terampil.
Tabel 2: Perbandingan Komposisi Lapangan Kerja dan Migrasi Penduduk Kota Bontang (2020-2025)
Indikator Ketenagakerjaan/Demografi | Data (2022) | Data (2023) | Catatan |
Persentase Pekerja per Sektor | |||
– Sektor Jasa | 71,78% | 72,36% | Peningkatan penyerapan tenaga kerja |
– Sektor Industri Manufaktur | 22,66% | 21,67% | Penurunan penyerapan tenaga kerja |
Dinamika Migrasi Penduduk | |||
– Jumlah Migrasi Keluar (2020-2022) | 5.948 (2020), 6.799 (2021), 6.892 (2022) | N/A | Tren peningkatan migrasi keluar |
– Jumlah Migrasi Masuk (2020-2022) | 4.200 (2020), 4.304 (2021), 4.821 (2022) | N/A | Tren peningkatan migrasi masuk |
– Jumlah Migrasi Keluar (2024-2025) | N/A | 5.768 (2024), 2.090 (2025 hingga Juni) | Data terbaru |
– Jumlah Migrasi Masuk (2024-2025) | N/A | 5.925 (2024), 2.196 (2025 hingga Juni) | Data terbaru |
Pembelajaran dari Studi Kasus Transisi Ekonomi Kota Tambang dan Industri
Transisi ekonomi di daerah yang sangat bergantung pada sumber daya alam merupakan salah satu isu paling menantang dalam geografi ekonomi, di mana kesuksesan sangat bergantung pada faktor kontekstual dan kebijakan spesifik wilayah. Belajar dari pengalaman kota lain, baik di dalam maupun luar negeri, dapat memberikan wawasan berharga bagi Bontang.
Studi Kasus Nasional
- Bangka Belitung (Pasca-Timah): Wilayah ini menjadi contoh yang relevan karena keberhasilannya mentransformasi lahan bekas tambang timah menjadi aset ekonomi baru. Alih-alih membiarkan lahan pasca-tambang terbengkalai, mereka berhasil mengubahnya menjadi destinasi wisata, seperti Kulong Biru Air Bara, sebuah danau bekas tambang yang kini menjadi daya tarik turis. Selain itu, mereka mengembangkan sektor agribisnis dan agroforestri di lahan reklamasi yang didukung oleh inovasi teknologi. Pembelajaran dari Bangka Belitung adalah pentingnya inisiatif kreatif dalam menggunakan kembali aset lama dan investasi pada pelatihan sumber daya manusia untuk memfasilitasi transisi ke sektor baru.
- Balikpapan (Pasca-Migas & Tambang): Sebagai “kota migas” lain di Kalimantan Timur, Balikpapan menawarkan perbandingan yang menarik. Meskipun memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat, Balikpapan tetap menghadapi tantangan terkait ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran yang relatif tinggi. Keberadaannya sebagai “gerbang” menuju Ibu Kota Nusantara (IKN) memang mendorong aktivitas ekonomi, namun pertumbuhan ini tidak serta-merta menjamin pemerataan dan penyerapan tenaga kerja yang optimal. Balikpapan mengajarkan bahwa ketergantungan pada efek limpahan dari proyek mega (IKN) tanpa strategi internal yang kuat dapat menciptakan risiko baru dan kegagalan dalam distribusi manfaat ekonomi.
Tabel 3: Perbandingan Strategi Transisi Kota Sumber Daya (Nasional & Global)
Nama Kota | Industri Lama | Strategi Transisi | Hasil & Tantangan |
Bangka Belitung | Timah | Repurposing lahan tambang menjadi pariwisata; pengembangan agribisnis di lahan reklamasi | Berhasil menciptakan destinasi wisata baru; Tantangan: biaya reklamasi tinggi dan resistensi sosial |
Balikpapan | Migas & Batubara | Fokus sebagai pusat administrasi dan perdagangan; Menjadi mitra strategis IKN | Pertumbuhan ekonomi tinggi; Tantangan: ketimpangan pendapatan, pengangguran |
Pittsburgh, AS | Baja | Transformasi ke industri pengetahuan (robotika, teknologi, kesehatan) | Berhasil menciptakan ekonomi inovasi; Tantangan: gentrifikasi dan ketidaksetaraan |
Kesimpulan dan Prognosis Akhir: Menimbang Risiko dan Peluang
Analisis terhadap data dan strategi menunjukkan bahwa nasib Bontang di era pasca-migas bukanlah takdir yang pasti. Sebaliknya, hal itu merupakan hasil dari pilihan strategis dan eksekusi kebijakan. Terdapat sebuah paradoks sentral: fondasi ekonomi Bontang yang saat ini kuat dan tumbuh pesat justru menciptakan kerentanan struktural yang tinggi karena konsentrasi ekstrem pada sektor migas yang produksinya terus menurun. Risiko ini diperparah oleh ketergantungan fiskal yang signifikan dan kesenjangan antara kebutuhan modal industri dan komposisi angkatan kerja lokal.
Namun, Bontang memiliki modal yang substansial untuk bertransisi. Pemerintah kota telah menunjukkan inisiatif yang proaktif dengan masterplan dan kebijakan yang solid. Strategi hilirisasi industri migas dapat menjadi jembatan yang efektif, memberikan waktu yang diperlukan untuk membangun sektor-sektor alternatif. Potensi besar di sektor perikanan dan pariwisata yang didukung oleh aset alam dan kebijakan yang telah ada menjadi peluang nyata untuk diversifikasi.
Berdasarkan sintesis dari seluruh temuan, sebuah prognosis yang bernuansa dapat dirumuskan: Kota Bontang tidak ditakdirkan untuk menjadi kota mati. Keberlanjutan dan kemakmuran di masa depan sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengimplementasikan rencana-rencana yang ada dengan tegas, menarik investasi yang beragam, dan mengatasi tantangan fundamental seperti kesenjangan keterampilan tenaga kerja. Keberhasilan tidak akan datang secara otomatis; ia membutuhkan eksekusi yang cermat dari rencana diversifikasi yang telah dibuat.
Rekomendasi Kebijakan Strategis
Untuk memastikan Bontang dapat bertransisi dengan sukses dan menghindari stagnasi ekonomi, beberapa rekomendasi strategis dapat dipertimbangkan:
- Akselerasi Implementasi Hilirisasi dan Pengembangan Industri Non-Migas: Pemerintah perlu mempercepat realisasi proyek-proyek yang telah direncanakan, seperti Kawasan Industri Petrokimia dan industri pengalengan ikan. Selain itu, harus ada skema insentif yang jelas untuk mendorong investasi di sektor-sektor non-migas yang kurang bergantung pada komoditas mentah.
- Optimalisasi dan Pembangunan Infrastruktur Pendukung Sektor Alternatif: Mengambil pelajaran dari kasus Bangka Belitung, pemerintah harus berinvestasi pada infrastruktur pendukung pariwisata, seperti akses jalan, akomodasi, dan transportasi publik. Untuk sektor perikanan, penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan dalam rantai pasok, seperti ketergantungan pada bahan baku impor, guna memastikan keberlanjutan industri pengolahan.
- Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Kesesuaian Pasar Kerja: Mengingat pergeseran komposisi angkatan kerja dari industri ke jasa, pemerintah, bersama dengan institusi pendidikan dan sektor swasta, harus mengembangkan program pelatihan kejuruan yang spesifik. Program ini harus berfokus pada keterampilan yang relevan dengan sektor-sektor baru seperti perikanan tangkap dan budidaya, perhotelan, dan ekonomi kreatif.
- Penciptaan Iklim Investasi yang Kondusif dan Progresif: Untuk menarik investasi dari luar sektor migas, pemerintah perlu menyederhanakan proses perizinan dan menawarkan insentif yang ditargetkan. Visi “Bontang Smart City” yang telah dicanangkan dapat menjadi kerangka kerja untuk menerapkan tata kelola yang efisien dan transparan, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing kota di mata investor nasional dan global.
Sosok penulis Drs. H. Nursalam Adalah legislator senior di DPRD Kota Bontang. Salam, sapaan akrabnya tercatat sebagai anggota komisi B, telah terpilih untuk empat periode berturut-turut, menjadikannya salah satu anggot yang cukup berpengalaman dibidangnya. Mantan Ketua DPRD periode 2014 – 2019 ini diharapkan mampu mengawal Bontang dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) menuju kemandiarian fiskal pasca migas