Penertiban PKL di Samarinda: Dilema Ketertiban dan Kemanusiaan
Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) yang gencar dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Samarinda dalam beberapa waktu terakhir menjadi isu yang kompleks dan terus menuai polemik di masyarakat. Di satu sisi, tindakan ini merupakan penegakan Peraturan Daerah (Perda) demi terciptanya ketertiban, keindahan kota, dan pemanfaatan ruang publik (trotoar dan badan jalan) sesuai fungsinya. Namun, di sisi lain, penertiban ini menyentuh aspek kemanusiaan dan ekonomi masyarakat kecil, yang menggantungkan hidupnya pada sektor informal.
Tinjauan Opini Publik dan Respons Pemerintah
Opini publik terhadap penertiban ini terbagi.
- Pihak Pro-Ketertiban: Mendukung langkah tegas pemerintah untuk membebaskan fasilitas umum dari PKL liar. Mereka berpandangan bahwa keberadaan PKL mengganggu kelancaran lalu lintas, merusak estetika kota, dan merampas hak pejalan kaki.
- Pihak Pro-Kemanusiaan: Menyoroti cara penertiban yang kerap dinilai keras dan tidak humanis, bahkan beberapa kali diwarnai kericuhan dan perlawanan dari pedagang. Legislator DPRD Samarinda juga mendesak agar penertiban diiringi solusi berbasis kemanusiaan dan tidak semata-mata mematikan usaha rakyat kecil.
Pemerintah Provinsi Kaltim dan Satpol PP Kota Samarinda sendiri menegaskan bahwa:
- Penertiban telah dilakukan sesuai prosedur dan didahului oleh imbauan lisan maupun tertulis berulang kali.
- Tindakan tegas merupakan upaya terakhir setelah pendekatan persuasif tidak diindahkan.
- Petugas di lapangan diminta untuk tetap humanis dan menghindari kekerasan, meskipun kadang menghadapi perlawanan.
- Pemerintah mengklaim sedang berupaya menyiapkan lokasi relokasi yang layak, namun realisasinya masih menunggu keputusan instansi teknis.
Analisis Dampak dan Solusi
Analisis menunjukkan bahwa penertiban PKL yang tidak diimbangi dengan solusi yang tepat cenderung tidak efektif dan hanya menjadi siklus berulang.
- Dampak Negatif:
- Ekonomi Rakyat: Memutus mata pencaharian PKL yang mayoritas merupakan masyarakat berpenghasilan rendah, berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan masalah sosial baru.
- Konflik Sosial: Memicu gesekan dan ketegangan antara pedagang dan aparat penegak Perda.
- Isu Keberlanjutan: PKL yang ditertibkan sering kali kembali ke lokasi strategis karena lokasi relokasi dinilai kurang prospektif atau belum tersedia.
- Solusi Jangka Panjang:
- Zona Khusus dan Relokasi Layak: Pemerintah harus segera merealisasikan zona-zona khusus atau tempat relokasi yang strategis, mudah diakses, dan memiliki potensi ekonomi yang sama dengan lokasi lama. Hal ini penting untuk memastikan keberlangsungan usaha PKL.
- Komunikasi dan Kemitraan: Meningkatkan sosialisasi dan komunikasi yang intensif sebelum penindakan. Beberapa pengamat menyarankan agar Pemkot Samarinda merangkul PKL sebagai mitra resmi dalam penataan kota, bukan sekadar objek penertiban.
- Regulasi yang Jelas: Memperjelas regulasi, terutama mengenai batas area larangan, jam operasional, dan sanksi, agar tidak terjadi multitafsir di lapangan dan mencegah PKL “kucing-kucingan” dengan petugas.
Pada intinya, penataan kota modern harus mampu menyeimbangkan antara keteraturan ruang publik dan kesejahteraan warganya. Penegakan Perda adalah keharusan, tetapi aspek perlindungan ekonomi rakyat kecil tidak boleh diabaikan. (setia wirawan)