Operasi Senyap di Kampung Rawan: Pengguna Dijaring, Bandarnya Mana?
Penangkapan 42 individu yang terbukti positif menggunakan narkoba di Jalan Lambung Mangkurat, Samarinda, patut diapresiasi sebagai upaya masif aparat gabungan dalam membersihkan kawasan rawan. Penjaringan yang dilakukan secara humanis, yang kemudian mengarahkan para pengguna—dari muda hingga penyandang disabilitas—ke jalur rehabilitasi, adalah penegasan bahwa negara melihat mereka sebagai korban, bukan pelaku kejahatan murni. Ini adalah langkah maju dalam implementasi UU Narkotika.
Namun, keberhasilan menjaring 42 korban ini justru menyisakan pertanyaan besar yang harus dijawab tuntas oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian: Di mana bandar atau gembong yang memasok jaringan di Lambung Mangkurat?
Wilayah tersebut bukan sekadar tempat kumpul para pengguna. Data BNNP Kaltim sendiri mengungkap kengerian di balik nama “Kampung Rawan” tersebut: dalam satu bulan terakhir, total 10 kilogram sabu berhasil diungkap dari kawasan sekitar. Angka 10 kilogram adalah volume yang fantastis, mengindikasikan bahwa peredaran di sana dikendalikan oleh jaringan terorganisir dengan modal dan logistik yang sangat besar.
Jika 42 pengguna berhasil diamankan karena gelagat mencurigakan seperti “berkelompok dan terlihat sedang mengantri untuk membeli,” maka seharusnya penyuplai atau pengecer yang melayani “antrian” tersebut berada tidak jauh dari lokasi.
Menangkap pengguna adalah upaya memotong ranting dan daun. Mengirim mereka ke rehabilitasi adalah upaya menyembuhkan luka. Namun, jika akarnya—yakni bandar dan jaringan pemasok—tetap kokoh dan terus menanam, kawasan itu hanya akan menjadi “rumah sakit” darurat yang tidak pernah sepi pasien.
Kepala BNN RI sering menegaskan bahwa menangkap pecandu hanya ‘menggunting pucuk,’ bukan menghancurkan akarnya. Pernyataan ini harus menjadi kritik internal bagi operasi semacam ini. Operasi di Lambung Mangkurat memang berhasil mengamankan pucuk, tetapi tidak ada laporan satupun tangkapan dari level distributor atau bandar besar.
Negara telah menggelontorkan sumber daya yang besar—BNNP Kaltim, Polri, TNI, Bea Cukai, hingga Satpol PP—dalam operasi ini. Efektivitas sumber daya ini harus diukur bukan hanya dari jumlah orang yang berhasil direhabilitasi, melainkan dari keberhasilan memutus mata rantai pasok.
Kami berharap, BNN dan jajaran penegak hukum segera menindaklanjuti data dan hasil interogasi dari 42 pengguna tersebut. Jaringan 10 kilogram sabu itu harus dibongkar sampai ke akarnya, aset-asetnya disita, dan gembongnya ditahan. Tanpa tindakan tegas terhadap supply side atau sisi pasok, status Lambung Mangkurat tidak akan pernah berubah dari “Kampung Rawan” menjadi “Kawasan Bersinar” yang sesungguhnya.
Salam redaksi
Setia Wirawan