Nursalam: Partisipasi Aktif Masyarakat Kunci Keberhasilan Transisi Bontang Pasca Migas
Nursalam: Partisipasi Aktif Masyarakat Kunci Keberhasilan Transisi Bontang Pasca Migas
Sebagai salah satu ‘Kota Industri’ di Kalimantan Timur, perekonomian Kota Bontang selama ini sangat bergantung pada industri minyak dan gas bumi (migas) serta turunannya, yang tercermin dari besarnya Dana Bagi Hasil (DBH) migas. Namun, dengan perkiraan berakhirnya kontrak perusahaan migas besar seperti PT Badak LNG pada 2025, Bontang dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memastikan keberlanjutan ekonomi daerah tanpa sokongan utama dari migas.Isu ini menjadi perhatian serius di kalangan legislatif dan eksekutif. Reporter kami, Setia Wirawan berkesempatan mewawancarai Drs. H. Nursalam, salah satu anggota DPRD Kota Bontang yang paling senior, dari Komisi B yang membidangi ekonomi dan keuangan, untuk mendalami langkah-langkah strategis yang sedang disiapkan. Berikut, Wawancara Eksklusif dengan Drs. H. Nursalam, Anggota DPRD Kota Bontang
nusaetamnews.com : Selamat siang, Bapak Nursalam. Kota Bontang akan menghadapi era pasca-migas, khususnya dengan berakhirnya kontrak PT Badak. Bagaimana pandangan DPRD, khususnya Komisi II, mengenai urgensi transisi ekonomi ini?
Nursalam : Selamat siang. Ini adalah isu yang sangat krusial, bukan lagi wacana, tapi sudah di depan mata. Jujur, urgensinya itu sudah sampai pada tingkat “hidup mati” fiskal daerah. Kenapa? Karena mayoritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kita masih disokong oleh Dana Bagi Hasil (DBH) migas. Jika pilar ini runtuh, kemampuan kita untuk membangun infrastruktur, melayani publik, bahkan membayar gaji pegawai, akan terpukul. Sebagian besar Anggota Dewan, terutama di Komisi II, terus mendesak Pemkot agar persiapan ini menjadi prioritas utama. Kita tak boleh menjadi “kota mati” setelah migas habis.
Nusaetamnews.com : Salah satu indikator kemandirian fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Saat ini, berapa persentase PAD Bontang, dan apa upaya konkret DPRD dalam mendorong peningkatannya?
Nur Salam: Benar, PAD Bontang masih sangat rendah, berkisar di angka 12% hingga 13% dari total APBD. Idealnya, untuk dianggap mandiri secara fiskal, kita harus mencapai minimal 20%.
Untuk mengejar ketertinggalan ini, langkah konkret yang kami dorong di Komisi II meliputi:
Pertama, Optimalisasi Sektor Pajak dan Retribusi: Kami meminta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) penghasil PAD untuk membuat komitmen kinerja yang terukur. Tidak hanya menagih, tapi juga berinovasi dalam layanan agar penerimaan pajak daerah (seperti PBB, BPHTB, dan Pajak Restoran/Hotel) bisa lebih maksimal.
Kemudian kedua, pencarian Sumber Investasi Baru: Kami aktif mendukung Pemkot dalam menyusun peta potensi investasi, terutama di luar sektor migas. Area seperti Bontang Lestari memiliki lahan yang bisa dikembangkan menjadi kawasan industri non-migas atau industri hilir yang berkelanjutan. Kami berharap perusahaan baru ini bisa memberikan efek berganda (multiplier effect) melalui penyerapan tenaga kerja lokal dan pembayaran pajak. Juga, Pengembangan Infrastruktur Jasa: Kita harus menumbuhkan sektor jasa yang kuat.
Nusaetamnews.com : Selain industri dan fiskal, sektor mana yang paling potensial untuk menjadi pengganti roda perekonomian pasca-migas?
Nur Salam: Kita melihat ada dua sektor utama yang didorong saat ini: Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Ekraf), serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Pertama, Pariwisata dan Ekraf. Bontang memiliki potensi alam yang unik, seperti Pulau Beras Basah dan ekowisata mangrove. Ini harus diintegrasikan dan dikelola secara profesional. Kami juga mendorong pembangunan fasilitas seperti Rumah Kreasi Milenial (RKM) sebagai inkubator bagi pelaku Ekraf, agar mereka bisa menghasilkan produk yang berdaya saing dan menjadi suvenir khas Bontang. Kedua, UMKM. Wali Kota telah menekankan pentingnya sektor ini. Kami mendukung penuh upaya untuk meningkatkan kualitas produk UMKM, memfasilitasi sertifikasi, dan yang paling penting, digitalisasi pemasaran. Kami ingin sentra-sentra UMKM menjadi tujuan wajib bagi tamu dari luar daerah.
Nusaetamnews.com : Tentu saja, transisi ini berdampak pada Sumber Daya Manusia (SDM). Bagaimana strategi Bontang untuk mengatasi potensi peningkatan pengangguran, mengingat banyak tenaga kerja yang selama ini terserap oleh industri migas?
Nur Salam: Ini adalah kekhawatiran yang sangat wajar. Fokus kami adalah dua hal: penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan kompetensi SDM.
Penciptaan Lapangan Kerja: Harapan besar ada pada masuknya investasi baru, seperti pabrik-pabrik di kawasan PT Pupuk Kaltim. Kami akan pastikan dalam regulasi daerah bahwa perusahaan-perusahaan ini memaksimalkan penyerapan tenaga kerja lokal. Kemudian, peningkatan Kompetensi: Pemkot harus gencar melakukan pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan industri baru (non-migas) dan sektor jasa, pariwisata, dan Ekraf. Kita perlu mengubah pola pikir SDM kita dari ketergantungan industri berat ke arah yang lebih kreatif dan service-oriented. Kolaborasi dengan institusi pendidikan, seperti yang pernah dilakukan dengan ITN Malang, adalah langkah positif untuk menyusun masterplan ekonomi kreatif.
Nusaetamnews.com : Terakhir, apa pesan Bapak Nursalam kepada seluruh elemen masyarakat Bontang terkait masa transisi ekonomi ini?
Nur Salam : Pesan saya tegas, kita harus bersatu dan adaptif. Pemerintah sudah berupaya, Dewan terus mengawasi dan mendorong, tetapi keberhasilan transisi ini membutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Jangan hanya menunggu DBH migas. Mari kita manfaatkan potensi lokal, kembangkan UMKM, dukung pariwisata, dan siapkan SDM kita. Kemandirian fiskal adalah harga mati bagi masa depan Bontang. Kami optimis, jika semua elemen bergerak bersama, Bontang akan mampu bertransformasi dari kota yang bergantung pada migas menjadi kota industri dan jasa yang mandiri, kreatif, dan berkelanjutan. (Wawancara berakhir. Pemkot dan DPRD Bontang dihadapkan pada tenggat waktu yang semakin dekat untuk membuktikan bahwa mereka siap menghadapi tantangan ekonomi pasca-migas.). Setia Wirawan