Subscribe

Menyingkap Dapur Teknik Terowongan Selili: Ujian Geologi Samarinda, Metode NATM, dan Beban Biaya Jangka Panjang

4 minutes read
2 Views

Mari kita telaah lebih dalam dua aspek kunci dari proyek Terowongan Selili Samarinda: detail teknis konstruksi NATM dan masalah dampak lingkungan/geologi.

Detail Teknis: Metode Konstruksi NATM

Proyek Terowongan Selili mengandalkan teknologi canggih, yaitu New Austrian Tunneling Method (NATM), yang juga dikenal sebagai Sprayed Concrete Lining (SCL). Pemilihan metode ini sangat krusial mengingat kondisi geologi di Samarinda yang tergolong rumit.

Mengapa NATM Dipilih?

Kondisi Tanah Rumit: Wilayah Selili berada di area perbukitan yang memiliki karakteristik tanah bervariasi, cenderung lunak, dan rawan longsor. NATM adalah metode yang fleksibel dan memungkinkan penyesuaian desain dan dukungan (penyangga) konstruksi sesuai dengan kondisi tanah yang ditemukan selama penggalian.

Prinsip Stand-Up Time: NATM memanfaatkan kemampuan alami batuan/tanah di sekeliling terowongan untuk menopang dirinya sendiri (stand-up time). Metode ini menggunakan shotcrete (beton semprot) segera setelah penggalian untuk membentuk lapisan penopang yang kuat, sehingga mengurangi tekanan pada struktur permanen.

Inovasi dan Efisiensi: Kontraktor (PT PP) menerapkan metode Parallel NATM, di mana seluruh pekerjaan (galian atas, galian bawah, invert, dan lining) dilakukan secara paralel. Inovasi ini dirancang untuk mempercepat durasi pengerjaan secara signifikan tanpa mengorbankan aspek keselamatan dan kualitas konstruksi.

Konstruksi Dua Arah: Penggalian terowongan dilakukan dari dua sisi (Jalan Sultan Alimuddin sebagai inlet dan Jalan Kakap sebagai outlet) untuk mempercepat penembusan.

Tantangan Teknis:

Meskipun NATM adaptif, kondisi geoteknik yang tidak terduga tetap menjadi tantangan terbesar.

Geologi Tak Terduga: Insiden longsor pada awal 2025 di sisi inlet (yang memicu penambahan anggaran Rp133 miliar) menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kajian geoteknik awal dengan kondisi aktual di lapangan. Hal ini memaksa kontraktor untuk melakukan langkah darurat, termasuk memperpanjang struktur di kedua sisi dan memperkuat lereng dengan beton bertulang dan sistem drainase khusus.

Penguatan Stabilitas Lereng: Pekerjaan yang berlanjut fokus pada beautifikasi dan penguatan titik-titik rawan longsor, termasuk pemasangan ground anchor untuk menjamin stabilitas jangka panjang.

Dampak Lingkungan dan Geologi

Isu lingkungan dan geologi menjadi sorotan utama, terutama karena proyek ini melibatkan “penembusan” perbukitan dan menelan anggaran yang besar.

Risiko Lingkungan dan Geologi

Potensi Longsor dan Patahan Tanah: Ahli geologi telah mengingatkan bahwa proyek ini berada di area yang secara alami memiliki risiko longsor dan kemungkinan patahan tanah. Pembangunan terowongan dapat memengaruhi daya tahan tanah akibat aktivitas manusia dan getaran, sehingga risiko ini harus diantisipasi secara matang.

Kritik: Tudingan DPRD Samarinda bahwa perencanaan teknis awal lemah dalam kajian geoteknik memperkuat kekhawatiran ini. Longsor yang terjadi menjadi bukti nyata bahwa risiko geologi tidak sepenuhnya terantisipasi.

Kebutuhan Drainase dan Intrusi Air: Adanya terowongan akan memicu pengendapan air dalam tanah. Desain terowongan harus menyertakan sistem drainase yang canggih dan kuat untuk mencegah intrusi air yang dapat merusak struktur dinding terowongan dan memicu karat pada infrastruktur penunjang (lampu, kabel).

Keseimbangan Alam: Salah satu syarat yang ditekankan Wali Kota Samarinda saat mendiskusikan desain adalah proyek ini tidak boleh mengganggu alam. Pilihan terowongan dibanding fly over atau pemotongan gunung yang lebih ekstrem sempat dianggap sebagai opsi yang lebih “ramah” lingkungan. Namun, longsor yang terjadi menunjukkan bahwa gangguan pada lereng tetap menjadi risiko yang harus ditangani secara serius.

Kritik dan Feedback Proyek

Biaya Jangka Panjang: Anggota DPRD juga mengkritik bahwa meskipun biaya konstruksi terowongan (Rp400-an miliar) lebih hemat dibanding fly over (Rp750 miliar), terowongan menimbulkan dampak biaya jangka panjang yang berkelanjutan (misalnya, biaya operasional dan pemeliharaan untuk lampu jalan, sistem ventilasi, dan ketahanan dinding) yang tidak dimiliki oleh fly over atau pemotongan gunung sederhana.

Dampak Fungsional (Feedback): Ada keraguan di kalangan anggota dewan mengenai dampak timbal balik (feedback) proyek ini terhadap masyarakat. Mereka khawatir jika proyek molor dan tidak tuntas sesuai janji di akhir masa jabatan, fungsi utama terowongan untuk mengurangi kecelakaan dan kemacetan tidak tercapai, sementara anggaran besar sudah dikeluarkan.

Secara keseluruhan, Terowongan Selili adalah proyek monumental yang memadukan teknologi canggih NATM dengan realitas geologi lokal yang menantang. Keberhasilan akhirnya akan ditentukan oleh seberapa efektif Pemkot Samarinda dan kontraktor dalam menanggulangi kendala geoteknik dan memastikan transparansi penggunaan anggaran tambahan. (sw)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *