Subscribe

Mengurai Struktur Sosial dan Ekonomi di Kutai Timur, Siapa yang Terserap dalam Kesejahteraan?

4 minutes read
6 Views

SANGATTA— Kabupaten Kutai Timur (Kutim) adalah representasi klasik dari “paradoks kekayaan sumber daya alam” di Indonesia. Daerah ini menyumbang pertumbuhan ekonomi fantastis yang didominasi oleh sektor pertambangan dan ekstraktif, namun sekaligus menghadapi ketimpangan struktural yang mendalam, baik di ranah ekonomi maupun sosial. Analisis struktur masyarakat dan ekonominya menunjukkan adanya ketegangan antara potensi kemajuan dan risiko “kota mati” pasca-tambang.

Struktur Ekonomi: Dominasi Ekstraktif yang Mengancam

Struktur ekonomi Kutai Timur saat ini menunjukkan ketergantungan ekstrem pada satu sektor:

Pertambangan dan Penggalian.

Sektor Kontribusi terhadap PDRB (Data 2024) Keterangan
Pertambangan dan Penggalian (Batubara) 75,53% Sektor utama pendorong PDRB, namun bersifat non-renewable dan menyerap tenaga kerja minimal.
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 8,80% Sektor yang diharapkan menjadi pilar baru, namun kontribusinya masih sangat kecil meskipun menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Sektor Non-Migas dan Non-Batubara Tumbuh 9,59% Terdapat pertumbuhan positif, menunjukkan upaya diversifikasi, tetapi belum mampu menggeser dominasi tambang.

Ketergantungan 75% pada tambang menciptakan struktur ekonomi yang sangat rentan (fragile). Manfaat ekonomi yang dihasilkan dari sektor ini cenderung bersifat enclave (terisolasi), karena:  Low Absorption Rate (Penyerapan Tenaga Kerja Rendah): Sektor pertambangan padat modal, bukan padat karya. Hal ini menjelaskan mengapa tingginya PDRB tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan merata. Volatilitas Global: Ekonomi Kutim sangat sensitif terhadap harga batubara global. Ketika harga turun, APBD dan PDRB langsung tergerus. Dan Ancaman “Kota Mati”: Moratorium ekspor batubara yang dicanangkan pemerintah pusat dan sifat sumber daya alam yang habis, mengharuskan Kutim segera menemukan “Ekonomi Baru” agar tidak menjadi kota mati di masa depan.

Pemerintah Daerah telah memulai upaya serius, seperti mendorong pengembangan pertanian komoditas unggulan (misalnya, nanas dari hulu ke hilir) dan menambah lahan persawahan baru. Namun, tantangannya adalah mengubah pola pikir investasi dan birokrasi yang selama puluhan tahun dimanjakan oleh dana royalty tambang yang melimpah.

Struktur Sosial: Perebutan Ruang dan Ketegangan Etnis-Ekonomi

Secara sosial, masyarakat Kutai Timur adalah mozaik multi-etnis dengan dua lapisan utama yang saling berinteraksi dan terkadang berkonflik: Penduduk Asli dan Pendatang.

Lapisan Penduduk Asli (Dayak dan Kutai)

Penduduk asli di Kutim, khususnya Suku Dayak (seperti Dayak Wehea) dan Suku Kutai, secara tradisional mengandalkan mata pencaharian di sektor agraris (berladang/bertani) dan hasil hutan non-kayu. Suku Dayak: Kebanyakan berada di wilayah pedalaman, memegang teguh hukum dan nilai adat, dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam. Kelompok ini sering berada di garis depan konflik lahan dengan konsesi perkebunan (sawit) atau pertambangan, karena wilayah mereka kini masuk dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) atau konsesi tambang.Sementara Suku Kutai: Umumnya bermukim di dekat sungai dan wilayah pesisir. Secara historis lebih awal berinteraksi dengan dunia luar (perdagangan).Tantangan utama kelompok ini adalah akses terhadap struktur ekonomi formal yang baru. Meskipun ada dorongan agar putra-putri Dayak dan Kutai masuk ke pemerintahan atau sektor swasta, dominasi pendatang di sektor jasa, perdagangan, dan manajemen perusahaan masih kuat.

Lapisan Penduduk Pendatang (Bugis, Jawa, Banjar, dll.)

Kelompok ini adalah migran yang datang sejak era transmigrasi, booming kayu, hingga booming tambang. Mereka umumnya mendominasi: Sektor Jasa dan Perdagangan: Menguasai pasar, logistik, dan usaha kecil menengah (UMKM) di wilayah perkotaan seperti Sangatta.Tenaga Kerja Terampil: Menduduki posisi teknis dan manajerial di perusahaan tambang, sawit, dan konstruksi.

Isu Kesenjangan Sosial:

Perbedaan dominasi sektor ini menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang nyata. Kekayaan yang dihasilkan tambang sering kali tidak “menetes” secara merata ke desa-desa di lingkar tambang atau ke masyarakat adat. Dampak dari industrialisasi, seperti kerusakan lingkungan dan pencemaran, justru lebih dulu dirasakan oleh masyarakat adat, sementara manfaat ekonominya dinikmati oleh segelintir korporasi dan kelompok pendatang di perkotaan.

Mendesak Transisi Struktural

Struktur ekonomi Kutai Timur adalah bom waktu yang terbuat dari batubara, sementara struktur sosialnya menunjukkan ketegangan identitas dalam perebutan sumber daya. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kontribusi pertanian dan menciptakan “Kutim Hijau” adalah langkah penting. Namun, agar diversifikasi ekonomi berhasil dan kesenjangan sosial teratasi, transisi struktural ini harus didampingi oleh:Penguatan Lahan Adat: Perlindungan hukum dan pengakuan wilayah adat untuk Suku Dayak, sehingga mereka menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek yang terpinggirkan. Kemudian, Pendidikan Vokasi: Peningkatan SDM lokal agar mampu bersaing dan mengambil posisi kunci dalam industri hilir sawit, perikanan, atau pariwisata yang kini sedang dikembangkan. Dan Pemerataan Infrastruktur: Membangun dari pinggiran, memastikan infrastruktur dasar mencapai desa-desa terpencil untuk mengintegrasikan masyarakat adat ke dalam rantai ekonomi yang lebih luas dan adil.Tanpa perubahan struktural yang radikal, Kutai Timur akan terus berjalan di atas dua jalur yang terpisah: statistik ekonomi yang memukau dan realitas sosial yang memprihatinkan. (setia wirawan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *