Mengurai Benang Kusut Kepatuhan Pajak Dalam Perspektif Praktisi
(Wawancara Eksklusif dengan Danes Suhendra Wijaya , Praktisi Pajak dan Keuangan)
Samarinda, nusaetamnews.com: Penerimaan pajak merupakan tulang punggung utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, fenomena wajib pajak yang enggan, menunda, atau bahkan menghindari pembayaran pajak masih menjadi tantangan serius bagi otoritas fiskal di Indonesia. Apa akar masalahnya dan bagaimana solusi untuk meningkatkan kesadaran serta kepatuhan? Reporter kami, Setia Wirawan mewawancarai Danes Suhendra Wijaya atau sering dipanggil Bapak Danes, seorang Praktisi Pajak dan Keuangan, untuk mendapatkan pandangan mendalam.
Faktor-faktor Penghambat Kepatuhan
Setia Wirawan: Selamat siang, Pak Daniel. Terima kasih atas waktu Anda. Langsung saja, dalam pandangan Anda sebagai praktisi, apa saja faktor utama yang membuat banyak wajib pajak di Indonesia enggan menunaikan kewajiban perpajakannya?
Danes: Selamat siang. Ada beberapa faktor yang saling terkait, dan ini bukan masalah tunggal.
Pertama, yang paling dominan adalah isu ketidakpercayaan atau transparansi penggunaan dana pajak. Ketika masyarakat menyaksikan atau mendengar berita tentang kasus korupsi, terutama yang melibatkan dana publik, otomatis muncul pertanyaan, “Untuk apa saya bayar pajak jika ujung-ujungnya hanya masuk ke kantong oknum?” Ini mengikis fondasi kepercayaan. Kedua, kompleksitas sistem administrasi. Meskipun pemerintah sudah berusaha melakukan digitalisasi dan menyederhanakan, bagi sebagian besar wajib pajak, terutama UMKM atau Wajib Pajak Orang Pribadi non-karyawan, proses pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) atau pemahaman regulasi masih dirasa rumit dan membingungkan. Kebingungan ini seringkali berujung pada penundaan atau penghindaran.
Ketiga, kurangnya pemahaman dan kesadaran (edukasi). Banyak yang masih melihat pajak sebagai beban atau paksaan, bukan sebagai bentuk partisipasi atau gotong royong dalam pembangunan negara. Edukasi pajak harusnya dimulai sejak dini, bukan hanya menjelang batas waktu pelaporan.
Setia Wirawan: Anda menyebut ketidakpercayaan. Bukankah pemerintah sudah berupaya meningkatkan transparansi melalui berbagai laporan dan publikasi APBN?
Danes: Upaya sudah ada, tapi nampaknya belum cukup masif dan terstruktur untuk benar-benar menyentuh kesadaran publik secara luas. Transparansi bukan hanya soal mempublikasikan angka, tetapi juga harus disertai dengan narasi yang jelas tentang dampak konkret dari setiap rupiah pajak. Misalnya, membangun jembatan A dari pajak yang dibayarkan warga B. Ketika masyarakat merasakan manfaat langsung, tingkat keengganan cenderung menurun.
Dilema Kepatuhan dan Penegakan Hukum
Setia Wirawan: Selain faktor di atas, ada pula yang beranggapan bahwa penegakan hukum (law enforcement) masih tebang pilih atau belum maksimal, sehingga memunculkan rasa ketidakadilan. Bagaimana menurut Anda?
Danes: Ketidakadilan dalam penegakan hukum memang bisa menjadi disinsentif yang besar. Dalam terminologi perpajakan, kita bicara tentang tax avoidance (menghindari pajak secara legal) dan tax evasion (penggelapan pajak secara ilegal).
Fenomena yang sering terjadi adalah wajib pajak kecil atau menengah merasa “mudah dijangkau” dan lebih sering diperiksa, sementara wajib pajak besar atau multinasional yang punya akses dan sumber daya untuk melakukan tax planning yang agresif seolah-olah lebih luput dari sorotan. Hal ini menciptakan persepsi ketidakadilan yang merusak moral kepatuhan.
Otoritas pajak perlu menunjukkan ketegasan dan keadilan yang sama di semua tingkatan. Sanksi administrasi dan pidana harus diterapkan secara konsisten tanpa pandang bulu. Keadilan ini mutlak diperlukan untuk memulihkan trust wajib pajak.
Solusi Jangka Panjang untuk Kepatuhan
Setia Wirawan: Menuju solusi, apa langkah strategis yang harus diprioritaskan oleh pemerintah dan otoritas pajak untuk mengubah keengganan ini menjadi kepatuhan yang tinggi?
Danes: Saya melihat ada tiga pilar utama yang harus diperkuat:
Transformasi Budaya dan Edukasi: Pajak harus dijadikan budaya nasional. Libatkan kurikulum sekolah, kampanyekan secara kreatif tentang manfaat pajak, dan buat program tax literacy yang mudah dicerna oleh semua lapisan masyarakat, dari pedagang kaki lima hingga pengusaha besar. Ubah citra pajak dari “hantu” menjadi “investasi masa depan bersama.
Penyederhanaan dan Digitalisasi Holistik: Meskipun sistem sudah online, prosesnya harus lebih ramah pengguna (user-friendly). Integrasikan data secara menyeluruh antara lembaga pemerintah (Kemenkeu, Dukcapil, Bank, instansi lainnya) agar wajib pajak tidak perlu berulang kali mengisi data yang sama. Idealnya, sistem bisa menghitung secara otomatis kewajiban pajak Anda, dan Anda hanya perlu memverifikasi dan membayar (pre-populated return).
Memperkuat Integritas dan Transparansi: Ini adalah kuncinya. Perlu ada mekanisme pengawasan internal yang super ketat di otoritas pajak untuk menindak oknum yang bermain curang. Secara eksternal, transparansi anggaran harus lebih rinci dan mudah diakses publik. Setiap Rupiah yang dibayar harus jelas ke mana larinya, dan harus ada feedback loop di mana wajib pajak bisa melihat hasil kontribusi mereka.
Setia Wirawan : Terakhir, apa pesan Anda untuk para wajib pajak yang masih enggan menunaikan kewajibannya?
Danes: Pajak adalah tiket kita sebagai warga negara untuk ikut serta dalam pembangunan. Anggaplah ini sebagai gotong royong modern. Memang, sistemnya mungkin belum sempurna, dan masih ada celah korupsi yang harus kita awasi bersama. Namun, jika semua orang memilih untuk tidak membayar karena alasan ketidakpercayaan, maka negara ini tidak akan bergerak.
Kepatuhan Anda adalah tekanan moral bagi pemerintah untuk berlaku adil dan transparan. Bayarlah sesuai kewajiban, dan jadilah watchdog yang aktif mengawasi penggunaannya. Karena pada akhirnya, infrastruktur yang kita nikmati, pendidikan anak-anak kita, dan layanan kesehatan yang kita terima, semua berakar dari kontribusi pajak kita sendiri.
Setia Wirawan: Sebuah perspektif yang sangat jelas, Pak Daniel. Terima kasih banyak atas waktu dan pencerahannya. Danes: Sama-sama. (sw)