Mengapa Badak Kalimantan Harus Sendirian Menghadapi Kepunahan?
Badak Kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni) kini telah mencapai titik nadir yang memilukan: hanya satu individu yang diyakini tersisa di alam liar. Kabar ini bukan sekadar statistik konservasi; ini adalah lonceng kematian yang memekakkan telinga bagi keanekaragaman hayati Indonesia. Ironisnya, ancaman kepunahan ini terjadi di pulau yang berulang kali diagungkan sebagai paru-paru dunia, sebagai “hutan kaya” yang tak ternilai. Kekayaan alam yang kita banggakan ternyata tidak mampu menjamin keselamatan salah satu penghuninya yang paling ikonik.
Keberadaan satu badak yang kesepian ini adalah cerminan kegagalan sistematis. Selama puluhan tahun, hutan Kalimantan terus dihantam oleh deforestasi masif demi industri ekstraktif—dari konsesi kayu, tambang, hingga ekspansi perkebunan skala besar. Degradasi habitat yang brutal ini adalah mesin utama yang mendorong badak ke jurang kepunahan. Pemerintah dan pemangku kepentingan telah lalai atau bahkan gagal total dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan spesies kritis. Dana triliunan yang mengalir dari eksploitasi hutan tampaknya tidak menyisakan anggaran yang memadai, atau komitmen yang serius, untuk perlindungan spesies yang terdesak.
Kehadiran badak terakhir ini mempertanyakan komitmen nasional kita: Apakah kita lebih menghargai kekayaan yang dapat dikalkulasi dalam angka (kayu, batu bara, sawit) daripada warisan ekologis yang tak tergantikan? Badak itu kini sendirian, seolah menjadi simbol protes atas kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada alam.
Kita tidak bisa lagi hanya bergantung pada monitoring atau strategi konservasi in situ (di tempat) yang terbukti tidak efektif dalam kasus ini. Keputusan yang harus diambil sekarang adalah radikal dan tanpa penundaan: Operasi Penyelamatan dan Pemindahan (Translokasi) Individu Terakhir. Individu badak yang tersisa harus segera dipindahkan ke fasilitas konservasi intensif, seperti Suaka Rhino Sumatera (SRS), di mana ia dapat dilindungi dari perburuan liar, mendapat perawatan medis, dan, yang terpenting, diupayakan untuk berpartisipasi dalam program pengembangbiakan. Jika kita membiarkan badak terakhir ini hilang di alam liar, kita bukan hanya kehilangan satu spesies; kita kehilangan legitimasi moral kita sebagai negara yang menjunjung tinggi konservasi. Hilangnya badak Kalimantan akan menjadi aib nasional dan catatan hitam dalam sejarah konservasi global. Ini adalah kesempatan terakhir bagi Indonesia untuk menebus kegagalan masa lalu dan membuktikan bahwa kita mampu menjaga kekayaan alam kita. Seluruh sumber daya, dari negara hingga pakar internasional, harus dimobilisasi. Jangan biarkan badak terakhir itu menghadapi kepunahan sendirian.