Subscribe

Mencari Titik Temu antara Ketertiban Kota dan Nafkah Rakyat Kecil

3 minutes read

Gelombang penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) yang gencar dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di berbagai titik Kota Samarinda beberapa waktu terakhir telah memicu perdebatan sengit di ruang publik. Di satu sisi, langkah tegas ini adalah upaya penegakan Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketertiban Umum, demi mewujudkan Samarinda yang rapi, tertib, dan nyaman, terutama di area-area publik vital seperti trotoar, badan jalan, dan sekitar fasilitas strategis. Tujuannya mulia: menjaga estetika kota dan mengembalikan fungsi ruang publik sebagaimana mestinya.

Namun, di sisi lain, proses penertiban yang kerap diwarnai kericuhan dan penolakan keras dari pedagang memunculkan pertanyaan kritis mengenai aspek kemanusiaan dan keberlanjutan ekonomi rakyat kecil. Video dan laporan mengenai bentrokan, penyitaan lapak, hingga isu penggunaan kekerasan oleh oknum petugas, seolah menutupi tujuan penertiban itu sendiri. Wajar jika muncul sorotan dari DPRD, pengamat kebijakan publik, hingga Gubernur Kaltim yang meminta penertiban dilakukan secara persuasif dan humanis.

PKL, suka atau tidak, adalah bagian integral dari denyut nadi ekonomi perkotaan, menjadi sumber nafkah bagi banyak keluarga. Mereka bukanlah penjahat, melainkan warga negara yang berjuang keras untuk hidup. Ketika penertiban hanya berfokus pada penindakan tanpa solusi yang memadai, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda berisiko dituding anti-rakyat kecil atau mematikan usaha alih-alih menata.

Solusi Komprehensif: Bukan Menggusur, Tapi Merangkul

Ketertiban kota dan kesejahteraan rakyat kecil bukanlah dua hal yang harus saling meniadakan. Pemkot Samarinda harus melangkah lebih jauh dari sekadar penindakan. Penegakan aturan harus diimbangi dengan kehadiran solusi konkret.

Pendekatan Humanis: Satpol PP sebagai ujung tombak penegakan harus mengedepankan komunikasi terbuka dan persuasif. Penertiban adalah upaya terakhir, bukan upaya pertama. Pembinaan harus dilakukan berulang kali, dengan sosialisasi Perda yang jelas mengenai zona larangan, zona perizinan, dan sanksi.

Penyediaan Ruang yang Layak: Inilah kunci utamanya. Pemkot, melalui Dinas terkait, harus aktif menyediakan dan menata zona-zona khusus PKL yang strategis, terjangkau, dan layak untuk berdagang. Contoh sukses seperti ‘Teras Samarinda’ bisa direplikasi di kawasan-kawasan lain. Menata berarti menyediakan ruang pengganti, bukan sekadar menghilangkan.

Kemitraan dan Pembinaan UMKM: PKL adalah bagian dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pemkot perlu merangkul mereka sebagai mitra resmi dan memberikan pembinaan, perizinan yang mudah, hingga akses permodalan. Penataan harus dilihat sebagai upaya peningkatan kelas, agar PKL bisa berjualan dengan tempat yang lebih higienis, teratur, dan memberi kontribusi positif pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penertiban di Samarinda harus menjadi momentum evaluasi, bukan sekadar penindakan. Pemkot harus mampu menunjukkan bahwa mereka bisa menyeimbangkan ketegasan dalam penegakan Perda dengan empati dan keberpihakan pada ekonomi rakyat. Kota yang maju adalah kota yang tertib sekaligus makmur bagi seluruh warganya, termasuk para pedagang yang mencari rezeki di kakilima.

Salam Redaksi

Setia Wirawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *