Mata Air Kerelaan: Kisah Gus Dur Meninggalkan Istana Demi Nyawa Kemanusiaan
Jakarta, nusaetamnews.com :KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, dikenal sebagai Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa. Banyak kisah humoris dan kebijakannya yang kontroversial namun visioner menjadi legenda. Namun, di balik semua itu, tersembunyi sebuah episode kemanusiaan yang sunyi, yang mungkin menjadi puncak dari seluruh prinsip hidupnya: bahwa tidak ada satu pun jabatan yang lebih berharga daripada kemanusiaan.
Kisah ini terjadi menjelang detik-detik pelengserannya dari kursi Presiden Republik Indonesia ke-4 pada tahun 2001. Suasana politik ibu kota saat itu sangat tegang, memanas hingga ke akar rumput. Kubu-kubu politik saling berhadapan, dan rumor tentang potensi pengerahan massa dari pendukung Gus Dur—terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan santri—sudah menjadi rahasia umum.
Ancaman Nyata Darah di Jalanan
Pada waktu itu, situasi Istana Negara di Jakarta tidak ubahnya medan yang dipenuhi ranjau. Ancaman konflik horizontal—pertempuran jalanan antara pendukung dan penentang Gus Dur—terasa sangat nyata. Aparat keamanan telah bersiaga penuh, namun kekhawatiran akan pertumpahan darah yang meluas jauh lebih besar dari sekadar kekhawatiran politik.
Bagi seorang presiden pada umumnya, mempertahankan kekuasaan—dengan segala cara konstitusional maupun taktis—adalah prioritas. Namun, bagi Gus Dur, prioritas tertinggi selalu diletakkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dalam beberapa pertemuan rahasia dengan lingkaran terdekatnya, bahkan saat menghadapi desakan keras untuk melawan, mata batin Gus Dur justru melihat skenario terburuk: darah rakyat tumpah di jalanan Jakarta akibat konflik kekuasaan. Beliau menyadari, jika ia bertahan, bentrokan massa nyaris tak terhindarkan. Ribuan nyawa tak berdosa, dari pihak pendukung maupun penentangnya, akan menjadi korban.
Keputusan Paling Sunyi: Menjauh dari Kekuasaan
Di tengah kegentingan itu, Gus Dur mengambil keputusan yang sangat sunyi, sebuah “pemberontakan” terhadap naluri kekuasaan: Ia memilih untuk secara sadar dan sukarela meninggalkan Istana Negara.
Bukan hanya soal melepaskan jabatan, ini adalah sebuah manifestasi konkret dari prinsip yang sering ia suarakan. Saat berbagai pihak menyiapkan strategi perlawanan dan mendesaknya untuk memanggil massa, Gus Dur justru mengeluarkan isyarat tegas kepada para kiai dan pendukungnya agar menahan diri. Ia tidak ingin melihat satu pun jarum jam nyawa manusia yang dicintai-Nya dikorbankan demi kursi presiden.
Kutipan yang hingga kini sering dikenang dari episode tersebut mencerminkan kerelaan dan humanisme paripurna beliau:
“Bagi saya, tidak ada satu jabatan pun di dunia ini yang lebih berharga daripada kemanusiaan. Lebih baik saya dilengserkan, asalkan tidak ada satu pun darah rakyat yang tumpah karena perebutan kekuasaan ini.”
Warisan: Kekuatan di Balik Kerelaan
Pada hari pelengserannya, Gus Dur pergi dengan tenang, tanpa perlawanan fisik, bahkan terkesan santai meninggalkan Istana. Tindakan ini, yang di mata sebagian politisi adalah kekalahan, justru menjadi kemenangan kemanusiaan terbesar dalam sejarah politik modern Indonesia.
Keputusan Gus Dur meninggalkan kekuasaan demi mencegah pertumpahan darah adalah sebuah pengorbanan humanis yang jarang diceritakan secara mendalam. Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati diukur bukan dari seberapa lama seseorang bertahan di kursi kekuasaan, melainkan seberapa besar kerelaannya untuk berkorban demi melindungi sesama, bahkan dari bahaya yang diciptakan oleh kekuasaan itu sendiri.
Kisah kerelaan ini menempatkan kemanusiaan sebagai satu-satunya ideologi yang dianut Gus Dur, melampaui kepentingan politik, jabatan, bahkan kelompoknya sendiri. Sebuah mata air yang terus mengalirkan inspirasi tentang makna sejati dari menjadi seorang Guru Bangsa.