Subscribe

Marsinah, Suara Abadi Buruh yang Humanis

3 minutes read

Pahlawan Sejati dari Pabrik Arloji: Mengenang Sisi Manusiawi Marsinah

Nama Marsinah, seorang buruh pabrik arloji dari PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo, Jawa Timur, telah abadi sebagai simbol perjuangan hak-hak pekerja di Indonesia. Kematiannya yang tragis pada tahun 1993, yang hingga kini masih menjadi salah satu kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang belum tuntas, tidak hanya meninggalkan kisah kelam, tetapi juga warisan keberanian dan sisi humanis yang mendalam.
Baru-baru ini, pengukuhan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2025, merupakan pengakuan moral dari negara atas dedikasi dan pengorbanannya yang luar biasa.
Sederhana, Cerdas, dan Gigih: Sosok Marsinah di Mata Keluarga
Sebelum menjadi aktivis yang namanya menggetarkan kekuasaan Orde Baru, Marsinah adalah sosok yang sangat membumi. Ia lahir di Nganjuk, Jawa Timur, pada 10 April 1969. Kehidupan masa kecilnya diwarnai dengan kemandirian; ia diketahui sering berdagang makanan ringan untuk membantu menambah penghasilan kakek dan neneknya.

Di mata keluarganya, seperti diungkapkan oleh adiknya, Marsinah dikenang sebagai pribadi yang:
• Sederhana: Hidup apa adanya, meskipun berjuang untuk mendapatkan upah yang layak.
• Cerdas dan Bersemangat Belajar: Meskipun pendidikannya terhenti karena kendala biaya, ia memiliki semangat belajar yang tinggi.
• Kuat dan Tegas: Ia memiliki pendirian yang kukuh, terutama jika dia meyakini apa yang dia perjuangkan adalah benar. Ia juga dikenal mampu mengayomi orang-orang di sekitarnya.
Sisi humanis inilah yang menjadi motor utama perjuangannya. Keberaniannya menyuarakan hak-hak buruh bukanlah semata-mata tuntutan ekonomi, melainkan dorongan untuk memastikan rekan-rekannya dan buruh perempuan mendapatkan kondisi kerja yang manusiawi dan upah yang adil.

Perjuangan untuk Kemanusiaan di Balik Tuntutan Upah
Pada Mei 1993, Marsinah bersama rekan-rekannya di PT CPS melakukan aksi mogok kerja dengan mengajukan 12 tuntutan. Tuntutan ini jauh melampaui sekadar kenaikan gaji, meliputi aspek-aspek kemanusiaan mendasar:
• Upah Minimum yang Layak: Tuntutan kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 sesuai keputusan Menteri Tenaga Kerja.
• Hak Buruh Perempuan: Penyesuaian cuti haid dengan upah minimum dan pembayaran cuti hamil. Marsinah sangat vokal membela buruh perempuan yang sering dirugikan jika tidak masuk kerja karena alasan biologis.
• Jaminan Sosial: Jaminan kesehatan buruh sesuai UU Jamsostek.
Puncaknya terjadi ketika 13 rekan Marsinah dipanggil dan diintimidasi oleh pihak Kodim Sidoarjo, bahkan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dan ditanya tentang sikap mereka terhadap PKI.
Marsinah kemudian mengambil langkah yang luar biasa humanis dan berani: Ia mendatangi Kodim seorang diri untuk menanyakan keberadaan dan nasib rekan-rekannya. Ia tidak hanya memperjuangkan upah, tetapi juga martabat dan kebebasan rekan sekerjanya.
Langkah ini menjadi tindakan terakhirnya. Tak lama setelah itu, Marsinah menghilang dan ditemukan tewas mengenaskan beberapa hari kemudian.

Warisan Abadi: Simbol Keberanian dan Keadilan
Meskipun kasus pembunuhannya masih diselimuti misteri dan pelakunya belum tuntas terungkap, warisan Marsinah terus hidup.
• Penghargaan HAM: Ia dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1993 atas perjuangannya membela hak asasi manusia.
• Inspirasi Global: Kasusnya dicatat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) sebagai kasus 1773, menjadikannya perhatian dunia internasional.
• Pahlawan Nasional: Penetapan gelar Pahlawan Nasional mengukuhkan bahwa perjuangan untuk hak-hak pekerja adalah bagian integral dari perjuangan bangsa.
Marsinah adalah simbol bahwa perjuangan buruh adalah perjuangan untuk kemanusiaan. Ia adalah suara yang memilih untuk tidak diam di tengah ketidakadilan, membuktikan bahwa seorang buruh pabrik sederhana pun dapat menginspirasi gerakan perubahan. (one/berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *