Subscribe

Mampukan Pemkot Samarinda Akhiri Siklus Banjir Abadi ?

3 minutes read
19 Views

Masalah banjir di Samarinda bukan lagi bencana insidental; ia telah menjelma menjadi siklus tahunan yang kronis, seolah menjadi “budaya air” yang terpaksa kita terima. Setiap hujan deras, warga harus bersiap menghadapi luapan air yang tak hanya merendam jalan, tetapi juga menenggelamkan harapan akan kemajuan kota. Redaksi melihat, akar masalah ini tidak tunggal, melainkan gabungan dari kesalahan tata kelola masa lalu dan, yang paling penting, minimnya kedisiplinan kolektif kita hari ini.

Tiga Pilar Kerentanan Samarinda

Banjir di Kota Tepian tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada tiga masalah utama yang terus membuat Samarinda rentan:

 Urbanisasi dan Tata Ruang yang Eksploitatif: Pembangunan infrastruktur dan perumahan yang masif sering mengabaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Banyak area resapan air, terutama perbukitan dan bantaran sungai, yang dialihfungsikan. Akibatnya, air hujan tidak memiliki tempat meresap alami dan langsung meluncur ke dataran rendah.

 Drainase yang “Sakit”: Sistem drainase kota, yang seharusnya menjadi penyelamat, justru menjadi biang keladi. Saluran air banyak yang tidak terawat, mengalami penyempitan, pendangkalan akibat sedimentasi, dan yang paling parah, tersumbat oleh sampah domestik. Kapasitas daya tampung drainase tidak lagi sebanding dengan volume air yang datang.

Budaya Sampah yang Mematikan: Inilah masalah yang paling personal dan krusial. Masih banyak warga yang menganggap sungai, parit, dan saluran air sebagai tempat sampah raksasa. Mulai dari botol plastik, bungkus makanan, hingga kasur bekas, semua dibuang tanpa rasa bersalah. Sampah inilah yang menjadi kunci penyumbat utama, membuat air meluap dan menghukum kita semua.

Solusi Jangka Panjang: Bukan Sekadar Normalisasi

Normalisasi sungai dan pengerukan memang perlu, tetapi itu hanya bersifat kuratif (mengobati). Samarinda memerlukan langkah radikal yang bersifat preventif (pencegahan) dan berkelanjutan:

Audit Tata Ruang dan Penegakan Hukum: Pemerintah Kota harus berani melakukan audit ulang terhadap izin-izin pembangunan di kawasan resapan air dan sempadan sungai. Pelanggar harus ditindak tegas, bukan sekadar diberi teguran. Perlindungan terhadap kawasan hijau dan penyediaan kolam retensi (waduk) skala besar di hulu kota adalah keharusan.

 Revitalisasi Drainase Berbasis Komunitas: Program perbaikan drainase harus melibatkan warga secara aktif. Beri edukasi dan insentif kepada RT/RW yang mampu menjaga kebersihan saluran primer dan sekunder di wilayah mereka. Drainase bukan hanya tanggung jawab Dishub, tetapi juga milik komunitas.

Disiplin Sampah Total: Kampanye kebersihan harus ditingkatkan dari sekadar imbauan menjadi gerakan disiplin kolektif. Terapkan sanksi yang jelas dan edukatif bagi pembuang sampah sembarangan. Fasilitasi pengelolaan sampah rumah tangga yang efisien agar sampah tidak berakhir di parit.

Mengatasi banjir di Samarinda adalah ujian terberat bagi kepemimpinan kota dan kesadaran warganya. Ini adalah waktu untuk berhenti saling menyalahkan dan mulai bersatu membersihkan rumah kita sendiri. Jika kita gagal mengendalikan sampah dan menjaga tata ruang, Samarinda akan terus menjadi kota yang tenggelam dalam ironi—sebuah kota di tepi sungai besar, namun selalu lumpuh oleh genangan air.

Mari kita akhiri siklus banjir ini. Masa depan Samarinda yang kering ada di tangan kita, bukan hanya di tangan hujan. Setia Wirawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *