Lia Putrinda Ubah Pesisir Gersang Jadi Hutan Vibes Wisata Kelas Dunia!
MALANG, Siapa bilang revolusi cuma bisa dimulai dari kota besar? Lia Putrinda Anggawa Mukti membuktikan sebaliknya. Berawal dari pertanyaan polos di usia 12 tahun, kini Lia, local champion dari Desa Tambak Rejo, Kabupaten Malang, sukses memimpin gerakan yang mengubah lahan pesisir gersang jadi ekosistem Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna yang hits dan sustainability abis.
Momen Aha!’: Pantai Gersang, Passion Lahir
Semua bermula di tahun 2004 Kala itu, Lia berjalan di pesisir bersama sang ayah, Saptoyo. Ayahnya bercerita tentang rimbunnya hutan mangrove di sana. Namun, yang Lia lihat hanyalah hamparan pasir panas dan gersang“Kok aku enggak bisa lihat hutan mangrove yang ayah ceritakan?” Pertanyaan lugu itu menjadi titik balik.
“Saat itu, pantai gersang, panas, tanpa tumbuhan. Dari situ saya mulai bertanya, ‘Kenapa orang-orang tidak melakukan sesuatu untuk lingkungan?’ Itu momen saat passion saya lahir,” kenang Lia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (26/8/2025).
Saat teman-teman sebayanya sibuk merantaumengejar mimpi di ibu kota, Lia justru mengambil jalan yang berbeda: mengabdi di kampung halaman. Ia memilih jalur konservasi, jalur yang enggak biasa bagi anak muda, apalagi seorang perempuan di desa nelayan yang kental patriarki.
Lia Balas dengan Aksi Nyata
Keputusan Lia enggak mulus. Cibiran dan remehan datang dari warga. Tapi Lia punya jurus jitu: aksi, bukan kata-kata. “Saya memilih sedikit bicara, (tapi) banyak aksi. Kalau saya yakin yang saya lakukan baik, suatu saat semesta akan menjawab semua keraguan,” katanya mantap.
Tantangan terberat Lia adalah SDM. Konservasi baginya bukan hanya menanam, tapi juga mendidik masyarakat agar rekreasi bisa berjalan beriringan dengan tanggung jawab. Kunci utamanya? Konsistensi dan Inovasi. Lia dan tim menerapkan prinsip: “Tanam, pegang teguh, dan jalani prinsip konservasi itu. Jangan tergoda keuntungan sesaat yang bisa merusak tujuan.” Savage!
Filosofi For Rest : Konservasi adalah Fitrah Perempuan
Bagi Lia, konservasi lebih dari sekadar pekerjaan. Itu adalah darah dalam dirinya, bagian dari fitrah perempuan untuk merawat kehidupan. Ia memegang teguh filosofi Memayu Hayuning Bawono atau memperindah dunia yang sudah indah. “Sebagai perempuan, tugas saya tidak hanya merawat anak atau keluarga, tetapi juga merawat kehidupan di luar rumah, termasuk hewan kecil dan tumbuhan,” jelasnya.
Fokus CMC yang awalnya di pesisir kini melebar ke hulu dengan menanam bambu, merespons krisis air bersih di desa. Bahkan, 25 persen dari pendapatan CMC kini diinvestasikan kembali untuk program konservasi. Totalitas!
Lia juga menginisiasi program Sinau lan Dolanan (Si Dolan), wadah belajar sambil bermain agar anak-anak desa memahami bahwa konservasi adalah bagian dari hidup.
Diapresiasi Kemenhut: Lia Adalah ‘Ujung Tombak’ Konservasi
Kerja keras Lia dan local champion CMC mendapat spotlight dari pemerintah pusat. Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menyebut Lia sebagai ujung tombak yang berhasil memahami kearifan lokal untuk mencari solusi konservasi mangrove yang tepat.
Menhut juga menyoroti peran perempuan dalam konservasi. “Mereka cenderung melihat konservasi bukan sebagai proyek sesaat, melainkan warisan untuk masa depan anak cucu mereka,” ujar Raja Juli. Kini, kebijakan Kemenhut pun bergeser dari top-down menjadi kemitraan , menempatkan masyarakat seperti Lia sebagai aktor utama konservasi. (kompas)