Kontradiksi di Bumi Sawit dan Tambang: Mengurai Kemiskinan Kabupaten Paser
Kabupaten Paser di Kalimantan Timur, dengan kekayaan sumber daya alamnya, terutama kelapa sawit dan batu bara, menyajikan sebuah ironi pembangunan. Di tengah gemerlap industri ekstraktif yang masif, isu kemiskinan tetap menjadi sorotan, memunculkan pertanyaan kritis: mengapa di daerah yang kaya sumber daya, sebagian masyarakatnya masih bergulat dengan keterbatasan ekonomi?
Angka Kemiskinan: Tren Positif di Tengah Peta Merah Kaltim
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Paser menunjukkan adanya tren positif dalam upaya pengentasan kemiskinan:
- Penurunan Persentase: Pada tahun 2024, persentase penduduk miskin di Kabupaten Paser tercatat 8,63 persen, menurun dari 9,11 persen pada tahun sebelumnya. Angka ini merupakan persentase kemiskinan terendah di Paser sejak 2019.
- Peringkat Kaltim: Meskipun mengalami penurunan, Paser masih menduduki urutan keempat kabupaten/kota dengan persentase kemiskinan tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur. Paser berada di bawah Mahakam Ulu, Kutai Barat, dan Kutai Timur.
- Faktor Penurunan: Penurunan ini dikaitkan dengan peningkatan pendapatan masyarakat miskin, inflasi yang terkendali, dan membaiknya akses ekonomi serta perlindungan sosial yang digalakkan pemerintah daerah.

Dilema Sumber Daya: Mengapa Kekayaan Tak Merata?
Keberadaan industri sawit dan tambang, yang seharusnya menjadi lokomotif pertumbuhan, sering kali menciptakan ketimpangan struktural yang menjadi akar kemiskinan:
- Enklave Ekonomi: Sektor pertambangan dan perkebunan sawit cenderung menciptakan “enklave ekonomi” yang terpisah dari ekonomi lokal. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sebagian besar dinikmati oleh pemodal besar dan pekerja migran dengan keahlian khusus.
- Kesenjangan Keterampilan: Penduduk lokal, terutama yang tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan industri, sering hanya mendapat posisi non-produktif atau upah rendah, sehingga tidak mampu memanfaatkan peluang kerja yang ditawarkan.
- Ancaman Lahan dan Lingkungan: Ekspansi sawit dan tambang berpotensi mengambil alih lahan produktif pertanian masyarakat atau merusak lingkungan, yang pada akhirnya memutus mata pencaharian tradisional, terutama bagi petani dan masyarakat adat.
- Minimnya Nilai Tambah: Sebagian besar hasil mentah (batu bara, CPO) langsung diekspor tanpa pengolahan lebih lanjut di Paser, membatasi penciptaan lapangan kerja di sektor hilir yang dapat memberikan nilai tambah dan upah yang lebih tinggi.
Arah Solusi Milenial: Beyond Extraction
Untuk mengatasi kontradiksi ini, fokus pembangunan harus bergeser dari sekadar ekstraksi menuju diversifikasi ekonomi inklusif yang berkelanjutan:
- Pemberdayaan Skill Lokal: Investasi besar-besaran pada pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan yang relevan, agar anak muda Paser dapat mengisi posisi-posisi teknis dan manajerial di sektor industri, bukan hanya buruh kasar.
- Pengembangan Sektor Hilir: Mendorong pembangunan industri pengolahan (pabrik CPO, hilirisasi batu bara) di Paser untuk menciptakan rantai nilai yang lebih panjang dan kesempatan kerja dengan gaji kompetitif.
- Penguatan Sektor Non-Ekstraktif: Mendorong sektor pertanian berkelanjutan (di luar sawit), perikanan, dan ekowisata berbasis kekayaan alam lokal, sebagai sumber pendapatan alternatif yang lebih merata dan tahan guncangan harga komoditas global.
Kesimpulan: Penurunan angka kemiskinan di Paser adalah kabar baik, namun perjuangan sesungguhnya adalah memastikan kekayaan sumber daya alam diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang merata. Hanya dengan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada manusia, Paser dapat keluar dari bayang-bayang ironi kekayaan yang timpang. (Tim Redaksi Nusaetamnews.com )