Ketika Emas Hitam Memudar, Siapa Menanggung Biaya Keberlanjutan?
SANGATTA, nusaetamnews.com : Kabupaten Kutai Timur (Kutim) kembali mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, mencapai angka 9,82% pada tahun 2024. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional. Namun, di balik gemerlap statistik tersebut, tersimpan sebuah paradoks serius yang menjadi ancaman jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat: tingginya ketergantungan pada sektor tambang dan ancaman terhadap agenda pembangunan berkelanjutan.
Laju pertumbuhan yang tinggi ini, yang utamanya didorong oleh sektor ekstraktif seperti batu bara, tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan individu. Ironisnya, data menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita justru menurun 6,75% pada periode yang sama. Penurunan ini dipicu oleh lonjakan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan diversifikasi ekonomi yang merata, sehingga kekayaan hanya berputar di lingkaran sektor-sektor besar.
Perjuangan Mencapai ‘Kutim Hijau’ Pemerintah Kabupaten Kutim menyadari sepenuhnya bahwa masa depan yang berkelanjutan tidak bisa lagi bertumpu pada sumber daya yang tidak terbarukan. Melalui visi “Tangguh, Mandiri, dan Berdaya Saing,” Kutim telah meluncurkan serangkaian inisiatif hijau dan bahkan menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang meluncurkan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) pada tahun 2024.

Langkah konkret yang paling menonjol adalah program SUSTAIN KUTIM, sebuah kemitraan multi-pihak yang melibatkan GIZ, perusahaan global (seperti Nestlé dan Barry Callebaut), dan komunitas lokal. Program ini berfokus mentransformasi sektor pertanian—khususnya kelapa sawit dan karet—menuju praktik berkelanjutan. Capaian Kunci Program Berkelanjutan: Pemetaan Lahan Berkelanjutan: Identifikasi lahan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCV) telah mencakup lebih dari 203.000 hektare di lima desa prioritas. Pemberdayaan Petani: Lebih dari 1.200 petani telah terdaftar dan siap menerima sertifikat legalitas lahan, yang menjadi prasyarat penting untuk rantai pasok berkelanjutan global.
Namun, pekerjaan rumah Kutim masih menumpuk. Di tengah janji keberlanjutan, pembangunan infrastruktur dasar masih menjadi momok. Kerusakan parah pada Jalan Poros Sangatta-Bengalon dan tantangan pemerataan layanan air bersih serta listrik di wilayah terisolir terus menghambat mobilitas dan kualitas hidup warga. Isu ini sering menjadi sorotan Gubernur Kaltim saat melakukan kunjungan kerja.
Menggali Akar Persoalan Ekonomi
Akar masalah Kutim adalah ketidakseimbangan struktural ekonomi. Dominasi tambang menciptakan “ilusi kemakmuran” yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Untuk keluar dari jebakan ini, Pemkab Kutim menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada tahun 2029 dengan fokus utama pada diversifikasi ekonomi berbasis pertanian, perikanan, dan pariwisata. Berbagai strategi baru, seperti peningkatan pelayanan perizinan usaha terpadu untuk UMKM dan dorongan pada produk lokal (misalnya, air mineral Sangattaqua), sedang digencarkan. Namun, kritik muncul dari kalangan legislatif. Realisasi anggaran yang rendah, serta tunggakan pembayaran senilai puluhan miliar rupiah, menunjukkan adanya hambatan birokrasi dan manajerial dalam mengeksekusi program-program pro-rakyat. Intinya, masa depan Kutai Timur akan ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan antara ambisi pembangunan infrastruktur dan ketahanan lingkungan, serta seberapa cepat daerah ini bisa mengalihkan roda ekonomi dari tumpuan “emas hitam” menuju energi hijau dan inklusif yang benar-benar dirasakan oleh petani, nelayan, dan seluruh lapisan masyarakat. Setia Wirawan