Kesepian di Akhir Kekuasaan: Permintaan Haru di Rumah Cendana
Di balik citra Presiden yang berkuasa selama 32 tahun, tersembunyi kisah mengharukan di penghujung hidup Jenderal Besar H.M. Soeharto. Setelah lengser dari jabatannya pada tahun 1998, suasana di kediaman pribadinya di Jalan Cendana, Jakarta, berubah drastis menjadi sepi, jauh dari hiruk pikuk Istana Negara.
Salah satu kisah yang sering diceritakan datang dari pengakuan mantan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra. Sekitar medio tahun 2000-an, Yusril datang mengunjungi Soeharto dan terkejut melihat pemandangan yang menyentuh hati.
Presiden yang pernah paling berkuasa itu duduk sendirian di kursi goyang di rumahnya yang sepi, ditemani oleh beberapa asisten rumah tangga dan ajudan. Rasa haru dan kasihan spontan timbul pada Yusril melihat mantan pemimpin tertinggi itu dalam kesendirian.
Pada pertemuan tersebut, Soeharto tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, menunjuk ke arah atap. “Ril, lihat tuh rumah bocor-bocor,” katanya.
Kemudian, dengan nada yang begitu lirih dan jujur, Soeharto, yang dikenal tegas dan tak tertandingi, melontarkan permintaan yang sangat sederhana, namun memilukan. Ia meminta sejumlah uang tunai yang akan digunakan untuk memperbaiki atap rumah Cendana yang bocor.
“Saya sudah tidak punya duit untuk biaya ini biaya itu. Rumah sudah rusak ini. Jadi tolong kamu kasih saya uang Rp20 miliar,” ujar Soeharto, seperti ditirukan Yusril.
Kisah ini menjadi simbol yang menggambarkan betapa besar perubahan nasib di masa tua Soeharto—dari puncak kekuasaan yang tak terbatas, ia harus menghadapi kenyataan sederhana bahwa ia “tidak punya uang” untuk sekadar memperbaiki atap rumahnya yang bocor. Sebuah akhir yang jauh dari kemegahan, dan dekat dengan realitas manusia biasa. (setia wirawan)