Subscribe

Kaltim, Harmoni yang Rapuh di Atas Tambang

3 minutes read
105 Views

Oleh : Bakhtiar Wakkang (Pengamat Kebijakan Publik)

Konflik yang paling dominan di Kaltim adalah konflik agraria yang dapat dengan mudah diwarnai isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) atau identitas.

1. Opini: Heterogenitas Bukan Pemicu, Melainkan Katalisator Konflik

Secara historis dan sosiologis, Kalimantan Timur dikenal sebagai provinsi yang sangat heterogen dan berhasil menjaga kerukunan antaretnis. Gubernur Kaltim bahkan pernah menyebut Kaltim sebagai daerah paling harmonis di Kalimantan. Heterogenitas (keberagaman suku Dayak, Kutai, Banjar, dan migran Jawa, Bugis, Madura, dll.) bukanlah akar masalah konflik.

Akar konflik di Kaltim bersifat struktural dan ekonomi:

Perebutan Sumber Daya Alam (SDA): Konflik mayoritas terjadi di wilayah pertambangan batu bara, kelapa sawit, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Kesenjangan Akses dan Manfaat: Ketidakadilan dalam pembagian hasil pembangunan atau marginalisasi warga lokal/adat dari penghidupan mereka akibat ekspansi industri.

Dalam kondisi perebutan sumber daya, heterogenitas sosial berfungsi sebagai katalisator. Ketika konflik agraria terjadi antara masyarakat adat (Dayak/Kutai) dengan perusahaan yang didukung oleh kelompok migran tertentu, isu SARA atau identitas suku dapat dengan cepat dipolitisasi untuk mobilisasi massa dan mengeskalasi konflik akar rumput menjadi kekerasan kolektif (mob atau riot).

2. Analisis Berita: Pola dan Bentuk Kerentanan Konflik Akar Rumput di Kaltim

Data konflik di Kaltim menunjukkan bahwa kerentanan sosial dan konflik akar rumput memiliki pola yang jelas, yang berpusat pada hubungan segitiga Masyarakat Adat/Lokal – Migran/Transmigran – Perusahaan/Pemerintah.

Pola Konflik di Kaltim Karakteristik Kerentanan Sosial Implikasi Akar Rumput
Konflik Lahan Pertambangan/Sawit Marginalisasi Ekonomi: Masyarakat adat (misalnya Dayak Benuaq di Kutai Barat) merasa terasing dari lahan dan sumber penghidupan mereka. Konflik Vertikal: Masyarakat vs Perusahaan/Pemerintah. Sering berbentuk pemblokiran tambang dengan melibatkan massa bersenjata tajam
Isu Ganti Rugi Lahan Ketidakpercayaan terhadap Pemerintah: Oknum pemerintah desa dan tim pembebasan lahan sering dituduh memainkan isu klaim ganti rugi, menyebabkan konflik berlarut-larut. Fragmentasi Internal: Konflik antara sesama kelompok tani atau antar-kelompok yang mengklaim kepemilikan lahan yang sama (diperparah dengan heterogenitas klain).
Dampak Ekologis Tambang Kebutuhan Dasar Terancam: Pencemaran lingkungan (sungai, udara) dan penyusutan lahan pertanian akibat tambang. Konflik Manifest: Masyarakat menuntut keadilan lingkungan dari perusahaan dan pemerintah daerah, di mana tuntutan yang tidak direalisasikan memicu konflik nyata (demonstrasi keras).
Isu Identitas di Wilayah Transmigran Perebutan Akses dan Kontrol: Transmigran harus membangun hubungan sosial baru di tengah pluralitas. Potensi konflik muncul dari akses yang tidak setara terhadap sumber daya ekonomi antara transmigran dan warga lokal. Tingkat Ketegangan Tinggi: Di masa lalu, ketegangan antara Dayak dan migran (seperti Madura) pernah terjadi, menunjukkan bahwa perbedaan suku dapat menjadi pemicu ketika kesenjangan ekonomi/politik terlalu lebar

Kesimpulan: Ancaman IKN dan Rekomendasi Mitigasi

Kerentanan sosial di Kaltim sangat nyata dan memiliki potensi tinggi memunculkan konflik akar rumput. Dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), kerentanan ini diperkirakan akan meningkat karena:

Meningkatnya Nilai Lahan: Spekulasi dan pengadaan lahan untuk IKN akan mempercepat konflik agraria. Masuknya Migrasi Tenaga Kerja: Gelombang migran baru akan menambah kompleksitas heterogenitas, meningkatkan persaingan kerja, dan memperlebar kesenjangan sosial jika tidak dikelola dengan baik. Mitigasi yang Efektif: Pemerintah daerah dan pusat tidak cukup hanya menjadi “pemadam kebakaran” setelah konflik pecah. Solusi harus menyentuh akar permasalahan yang didominasi oleh isu ekonomi dan lingkungan, bukan hanya meredam sentimen SARA. Diperlukan penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal (melalui pemimpin adat/budaya) karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka lebih tinggi dibandingkan kepada aparat negara. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *