Jejak Perantauan di Tanah Borneo: Historis Transmigrasi ke Kaltim dan Transformasi Menuju IKN

Kalimantan Timur (Kaltim) adalah salah satu daerah tujuan utama program Transmigrasi di Indonesia, sebuah kebijakan historis yang bertujuan memindahkan penduduk dari pulau padat (terutama Jawa, Bali, dan Lombok) ke wilayah yang jarang penduduk, sekaligus mendorong pembangunan daerah terpencil. Program ini telah mengukir jejak sosial dan ekonomi yang mendalam, dan kini, desa-desa transmigran menghadapi gelombang perubahan baru seiring pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Historis: Dari Kolonisasi ke “Pengembangan Wilayah”
Program transmigrasi di Kaltim berawal jauh sebelum Orde Baru, namun mencapai puncaknya pada masa tersebut. Transmigrasi di Kaltim dimulai secara resmi pada tahun 1954, dengan penempatan awal di lokasi seperti Palaran (Samarinda) dan Petung (Pasir/PPU). Namun, program ini benar-benar masif sejak Pelita I (1969). Awalnya, fokusnya adalah pemerataan penduduk dan penyediaan tenaga kerja untuk proyek-proyek pembangunan daerah. Kaltim menjadi sasaran karena memiliki lahan luas dan potensi sumber daya alam yang besar.
Sebagian besar Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) dikembangkan dengan pola tanaman pangan (persawahan) dan perkebunan (kelapa sawit dan karet). Contoh nyata adalah kawasan Lempake di Samarinda, yang menjadi basis pengembangan pertanian dan peternakan (sapi) bagi para transmigran.
Hingga akhir Orde Baru (sekitar tahun 1999/2000), Kaltim telah membangun sekitar 235 desa transmigrasi dengan total lebih dari 72.000 Keluarga (KK) atau sekitar 290.000 jiwa. Pembangunan ini membuka isolasi daerah terpencil dan menciptakan desa-desa baru yang kini telah berkembang menjadi kecamatan atau bahkan kabupaten.
Tantangan Awal dan Isu Sosial
Meskipun sukses dalam aspek pemerataan, transmigrasi tidak lepas dari berbagai masalah diantara, Konflik Lahan: Sering terjadi tumpang tindih antara lokasi UPT dengan tanah adat masyarakat Dayak dan Paser, yang rawan memicu konflik sosial. Kemudian masalah Keterbatasan Sumber Daya: Transmigran sering dihadapkan pada tanah yang kurang subur (tanah podsolik merah kuning) dan minimnya infrastruktur dasar (jalan, irigasi, dan alat pertanian). Kondisi ini membuat sebagian besar UPT mengalami masa-masa sulit dalam mencapai kemandirian ekonomi.
Isu Jawanisasi” menjadi suatu masalah yang cukup serius. Program ini kerap dikritik karena dianggap lebih memihak etnis pendatang (Jawa) dan kurang memperhatikan pemberdayaan penduduk lokal, yang terkadang menimbulkan kecemburuan sosial.
Kondisi Transmigran Saat Ini:
Pasca Era Otonomi Daerah, paradigma transmigrasi bergeser dari “pemindahan penduduk” menjadi “pengembangan wilayah” dan “pusat pertumbuhan baru”. Desa-desa eks-transmigrasi di Kaltim kini menunjukkan diferensiasi yang signifikan dalam kondisi sosial ekonomi.
Banyak desa transmigrasi kini telah menjadi sentra produksi komoditas unggulan Kaltim. Diantaranya: Dominasi Sawit: Mayoritas UPT yang berhasil, terutama di Kutai Kartanegara (Kukar), Paser, dan Kutai Timur, telah beralih sepenuhnya ke perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang sebelumnya petani padi kini menjadi pekebun sawit; hal ini menciptakan kelompok juragan sawit dengan tingkat pendapatan tinggi, meskipun juga memunculkan kesenjangan ekonomi internal (antara pemilik kebun pribadi dan buruh tani).
Kemudian Infrastruktur dan Fasilitas: Desa-desa eks-transmigran umumnya telah menjadi desa/kelurahan definitif dengan infrastruktur yang jauh lebih baik (jalan beraspal, listrik PLN, Pustu/Posyandu, sekolah). Dan Masyarakat eks-transmigran dikenal memiliki sikap resiliensi yang tinggi, berhasil mengatasi tantangan geografis dan ekonomi awal, serta membangun modal sosial yang kuat melalui gotong royong.
Dampak Pembangunan IKN: Sebuah Katalisator Baru
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara memberikan dampak langsung yang signifikan terhadap desa-desa transmigrasi di sekitarnya. Kawasan transmigrasi yang berdekatan dengan jalur logistik IKN mengalami lonjakan ekonomi. Permintaan akan jasa dan kebutuhan dasar meningkat drastis. Contohnya, banyak warga transmigran yang kini mendapatkan rezeki dari sewa kontrakan bagi pekerja konstruksi IKN. Jalan-jalan utama di desa-desa transmigrasi menuju IKN telah ditingkatkan mutunya. Peningkatan infrastruktur ini memperlancar akses pasar bagi hasil pertanian mereka. Pemerintah pusat kini melihat kawasan transmigrasi sebagai potensi pengembangan kawasan ekonomi modern dan penyedia pangan (sektor pertanian) untuk IKN, bukan lagi sekadar tempat menampung penduduk.
Tantangan Kontemporer
Saat ini, tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat transmigran yang pertama Adalah masalah harga lahan Dimana Kenaikan harga lahan secara eksponensial di sekitar IKN berpotensi mengancam keberlanjutan sektor pertanian, karena warga rentan menjual lahan warisan mereka. Masalah selanjutnya Konflik Lahan (Terulang): Rencana transmigrasi baru (walaupun dengan pola 75% lokal: 25% non-lokal) di beberapa wilayah masih menuai penolakan dari Masyarakat Adat yang khawatir akan terulangnya konflik penguasaan lahan.
Secara keseluruhan, masyarakat transmigran di Kaltim telah bertransformasi dari kelompok “pindah kemiskinan” menjadi pilar penggerak ekonomi daerah. Dengan adanya IKN, desa-desa transmigrasi berpeluang besar untuk menjadi sentra industri hilirisasi dan motor penggerak ekonomi baru di Kalimantan, asalkan pengelolaan lahan dan integrasi dengan masyarakat lokal dilakukan secara adil dan berkelanjutan. (setia wirawan/berbagai sumber)