Subscribe

Jejak emas hitam di jantung Borneo Sejarah Panjang Batu Bara Kalimantan Timur

4 minutes read
9 Views

Kalimantan Timur, nusaetamnews.com : Di balik hutan tropis dan sungai-sungai besar Kalimantan Timur, tersembunyi sebuah kisah panjang yang membentuk denyut ekonomi dan lanskap sosial daerah ini: sejarah pertambangan batu bara. Dikenal sebagai “emas hitam,” komoditas ini telah menarik perhatian global selama lebih dari satu setengah abad, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan, dari era kolonial hingga menjadi penopang utama energi nasional.

Era Kolonial: Titik Awal Sang “Raksasa Tidur”

Kisah eksplorasi batu bara di Kaltim bukanlah cerita baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka, potensi kekayaan mineral ini sudah terendus.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa penelusuran batu bara dimulai sekitar tahun 1845 di wilayah Samarinda. Pedagang-pedagang dari Inggris di bawah perusahaan milik George Peacock (G.P.) King menjadi yang pertama mengadakan penyelidikan di sekitar Sungai Mahakam. Penemuan ini segera menarik perhatian Pemerintah Kolonial Belanda.

Perusahaan batu bara Belanda, Oost-Borneo Maatschappij, mengambil peran sentral. Pada tahun 1888, mereka mendirikan tambang batu bara besar di Batu Panggal, di tepi Sungai Mahakam. Sementara itu, sumber lain menyebutkan tambang batu bara pertama di Indonesia muncul di Pangaron, Kaltim pada tahun 1849, juga oleh perusahaan Belanda.

Pada masa itu, batu bara adalah komoditas strategis—bahan bakar penting untuk menggerakkan armada kapal uap dan pabrik di tengah gejolak Revolusi Industri Eropa. Pemerintah kolonial bahkan mengeluarkan besluit (ketetapan) untuk menjamin potensi alam jatuh ke penguasaan mereka, menandai dimulainya eksploitasi kekayaan alam Kaltim secara masif.

Memasuki Babak Baru: Era Modern dan Kontrak Karya

Setelah kemerdekaan, industri ini mengalami pasang surut hingga memasuki era Orde Baru. Titik balik besar terjadi dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kebijakan ini membuka pintu lebar bagi investor asing untuk kembali menanamkan modalnya, khususnya di sektor pertambangan.

Awalnya, di era 1970-an, pemerintah membuka tender eksplorasi untuk wilayah strategis di Kalimantan. Sejumlah perusahaan multinasional dan swasta nasional pun berdatangan.

Lonjakan aktivitas signifikan terjadi pada kurun waktu 1976–1985, terutama melalui mekanisme Kontrak Karya (KK) Generasi I dan III. Perusahaan-perusahaan raksasa, seperti Berau Coal, Indominco Mandiri, Kaltim Prima Coal (KPC), Kideco Jaya Agung, dan lainnya, mulai menancapkan taringnya di Bumi Etam.

Kutai Timur: Episentrum Produksi Global

Salah satu kisah paling menonjol adalah di Kutai Timur. Jejak panjang industri ini di sana dimulai sejak akhir 1970-an. Memasuki 1989, pembangunan infrastruktur besar-besaran dimulai, dengan investasi mencapai ratusan juta Dolar AS untuk fasilitas kunci seperti crusher, coal preparation plant, dan sistem conveyor.

Pada tahun 1991, Kaltim mencatatkan sejarah dengan ekspor perdana yang mengirimkan jutaan ton batu bara ke pasar global. Titik pembuktian terjadi pada tahun berikutnya, ketika target produksi terlampaui.

Perkembangan semakin pesat di dekade-dekade berikutnya. Contohnya KPC, yang setelah diakuisisi PT Bumi Resources Tbk. pada tahun 2003, kapasitas produksinya melonjak drastis, menjadikan Kaltim salah satu pusat energi terpenting di dunia. Kaltim kini menyumbang sekitar 60% hingga 70% dari produksi batu bara nasional, menjadikannya provinsi dengan sumber daya batu bara terbanyak di Pulau Kalimantan.

Dilema Emas Hitam: Antara Rupiah dan Kerusakan Lingkungan

Sejarah batu bara Kaltim adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, industri ini telah menjadi mesin penggerak ekonomi daerah dan nasional, membuka lapangan kerja, dan membangun infrastruktur vital. Kekayaan “emas hitam” ini telah menghasilkan miliaran rupiah dan menempatkan Indonesia—dan Kaltim khususnya—di peta perdagangan energi dunia. Namun, di sisi lain, keuntungan ekonomi ini harus dibayar mahal oleh lingkungan.

Aktivitas pengerukan yang masif telah menimbulkan dampak serius. Laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim pada satu periode pernah mencatat bahwa lebih dari 1.700 lubang bekas galian tambang menganga di berbagai wilayah. Lubang-lubang ini tidak hanya merusak lanskap, tetapi juga menimbulkan bencana lingkungan, termasuk menjadi ancaman keselamatan warga.

Selain itu, munculnya tambang-tambang ilegal sempat menjadi masalah kronis, menunjukkan kompleksitas tata kelola dan pengawasan di sektor ini.

Menuju Masa Depan Energi

Dengan wacana transisi energi global dan penetapan Kaltim sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) baru, sektor batu bara kembali menghadapi tantangan baru. Batu bara Kaltim dipandang sebagai salah satu penopang ekonomi IKN, namun saat bersamaan, terdapat desakan kuat untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, konservasi lingkungan, dan kepastian hukum.

Kisah batu bara Kaltim adalah cerminan sejarah bangsa: perjuangan antara mendulang rupiah dari kekayaan alam yang melimpah dan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jejak emas hitam di jantung Borneo ini akan terus menjadi babak penting dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan yang berkelanjutan. (setia Wirawan)Kira-kira, menurut Anda bagaimana seharusnya warisan dan dampak dari sejarah pertambangan ini dikelola untuk masa depan Kalimantan Timur?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *