Ironi Kota Migas: Bontang Kaya Raya, Tapi Kemiskinan Masih Jadi PR Besar
BONTANG KALTIM, nusaetamnews.com : Bicara Bontang, yang terbayang pasti adalah raksasa industri migas dan pupuk, duit melimpah, dan APBD yang ‘menggiurkan’. Kota ini dijuluki “Kota Taman” yang makmur. Tapi, di balik gemerlap cerobong asap PT Badak NGL dan Pupuk Kaltim, ada fakta getir: kemiskinan masih menjadi PR yang enggak kelar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bontang menunjukkan optimisme. Persentase penduduk miskin memang terus melandai. Tahun 2024, angkanya berada di angka 3,74 persen, turun dari 4,11 persen di tahun sebelumnya. Secara jumlah, ada sekitar 7,11 ribu orang yang masuk kategori miskin (data BPS 2024). Bahkan, Pemkot Bontang berani sesumbar: Zero Kemiskinan Ekstrem di akhir 2024 dan target penurunan angka kemiskinan hingga 50 persen pada 2026! Ambisinya nggak main-main.
Tapi, wait a minute. Data BPS vs. Realita di Lapangan? Check this out!
Dualisme Data: Inilah headache utama di Bontang. Di satu sisi, ada data BPS yang relatif “rendah” (sekitar 7,11 ribu jiwa miskin). Di sisi lain, muncul data dari sumber lain, seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang mencatat jumlah warga miskin justru mencapai 16.384 jiwa! Lho, kok jauh banget? Perbedaan angka yang signifikan ini bikin program bantuan sosial (Bansos) rawan salah sasaran. Pemkot sendiri mengakui masih berjibaku dengan validasi data, sampai harus menerjunkan ratusan enumerator (petugas pendata) buat cross-check faktual. PR banget buat birokrasi.
Kemiskinan Ekstrem: Noda di Kota Kaya: Meskipun klaim “Zero Kemiskinan Ekstrem” sudah digaungkan, kasusnya masih mencuat. Ada laporan tentang warga miskin ekstrem (per Oktober 2025) yang dialami sekitar 149 jiwa yang bahkan kesulitan makan. Ini adalah ironi parah di kota yang pendapatan per kapitanya seharusnya tinggi. Kritikus sosial menyoroti, di tengah APBD besar dan industri mentereng, Bontang seharusnya mampu mengatasi masalah dasar seperti hunian layak dan sanitasi bagi kelompok paling rentan ini. Kayak ada gap yang lebar antara laba korporasi vs. kesejahteraan rakyat.
Garis Kemiskinan yang “Mencekik”: Garis Kemiskinan (GK) Bontang per 2024 adalah sekitar Rp801.945 per kapita per bulan. Angka ini naik dari tahun sebelumnya, menandakan biaya hidup di Bontang juga makin mahal. Bagi mereka yang penghasilannya segitu-gitu aja, atau bahkan pengangguran (yang angkanya diklaim masih tinggi), GK ini jadi batas yang sangat tipis antara “mampu” dan “miskin.”
Apa Kata Stakeholder?
Pemkot Bontang tampak serius. Mereka tidak hanya mengandalkan Bansos, tapi juga berupaya sinergi dengan berbagai pihak, termasuk Baznas, UPZ Perusahaan (Unit Pengumpul Zakat), dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Fokusnya adalah integrasi data (satu data) untuk mengatasi kemiskinan, stunting, dan pengangguran. Program bantuan modal usaha dan pelatihan SDM juga digalakkan, menyasar ke akar rumput melalui skema dana RT.
Bontang adalah paradoks. Sebuah kota industri yang seharusnya menjadi mesin penghasil kesejahteraan, namun masih harus berhadapan dengan warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. PR-nya bukan lagi soal uang, tapi soal akurasi data dan efektivitas penyaluran benefit kekayaan migas agar benar-benar menyentuh kelompok yang paling membutuhkan.
Target ambisius Pemkot Bontang untuk “Zero Kemiskinan” adalah tantangan berat. Untuk mewujudkannya, mereka harus bisa memangkas gap antara data di atas kertas dengan jeritan warga di lapangan, dan memastikan roda ekonomi industri nyambung dengan kesejahteraan masyarakat lokal, bukan hanya menciptakan kantong-kantong elit di sekeliling pabrik raksasa. Tinggal tunggu pembuktian: apakah Bontang akan jadi kota “Sultan” seutuhnya, atau tetap menyisakan kisah pahit di balik megahnya kilang gas. (tim redaksi nusaetamnews.com)
Kenapa Ada Si Miskin di Kota Migas? Bontang & Jurang Ketimpangan yang Bikin Gelisah
Bontang, dengan label Kota Industri dan sumber migas yang melimpah, sering disebut “kota kaya” atau “Kota Sultan.” Ironisnya, di tengah gemerlap perusahaan raksasa seperti Badak NGL dan Pupuk Kaltim, masih ada ribuan penduduk yang hidup dalam jeratan kemiskinan.
Ini bukan sekadar masalah angka (meski persentase kemiskinan Bontang relatif rendah, sekitar 3,74% per 2024, jumlahnya tetap signifikan), tapi ini adalah masalah ketimpangan struktural.
Berikut adalah akar masalah (the real causes) mengapa penduduk Bontang masih banyak yang miskin, dirangkum dalam bahasa jurnalistik milenial:
1. “The Paradox of Plenty”: Ketimpangan Ekonomi Akut
Ini adalah penyebab utama: Bontang mengalami apa yang disebut “Paradoks Kelimpahan” (Resource Curse).
Kekayaan Berputar di Kalangan Terbatas: Ekonomi Bontang didominasi sektor ekstraktif (Migas, Pupuk, Industri Kimia). Sektor ini menghasilkan devisa fantastis dan membuat APBD terlihat besar, tapi tidak menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah masif dan hanya melibatkan segelintir pemain kapitalis.
Gaji Elite vs. Upah Remah-remah: Pendapatan per kapita Bontang mungkin tinggi (karena dihitung rata-rata dengan gaji para engineer dan ekspatriat di perusahaan migas), tapi ini dibarengi ketimpangan pendapatan yang tinggi. Kekayaan terpusat pada mereka yang bekerja di level tinggi industri migas, sementara penduduk lokal lainnya harus puas dengan pekerjaan di sektor informal atau sebagai buruh pendukung dengan upah yang minim.
2. Filter Industri yang Terlalu Ketat (Skala Skill)
Lapangan kerja yang tersedia di industri raksasa Bontang memiliki standar kualifikasi yang tinggi.
Pendidikan Jadi Pembeda: Industri migas dan pengolahan kimia membutuhkan pekerja dengan skill dan pendidikan formal tinggi (sarjana teknik, spesialis K3, dll.). Ini menciptakan barrier to entry bagi penduduk asli yang mungkin hanya lulusan SD/SMP atau SMA tanpa pelatihan spesialisasi.
Pengangguran Jadi PR: Akibatnya, meski industri ada di depan mata, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Bontang masih menjadi isu, mencapai 7,06% pada Agustus 2024. Pengangguran jangka panjang adalah pintu gerbang menuju kemiskinan.
3. Harga Hidup “Ala Kota Sultan” (Mahal)
Meskipun kota ini makmur, biaya hidup (Garis Kemiskinan/GK) di Bontang juga tinggi.
Inflasi Kebutuhan Pokok: Keberadaan industri besar seringkali memicu kenaikan harga barang dan jasa. Garis Kemiskinan Bontang per 2024 mencapai Rp801.945 per kapita per bulan—angka yang terbilang tinggi—dan terus meningkat. Kenaikan harga kebutuhan pokok (basic needs) menjadi “cegukan” bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Gaji Stagnan vs. Harga Melambung: Jika penghasilan warga di sektor informal stuck (tidak naik signifikan), tapi harga kebutuhan sehari-hari terus melambung tinggi, maka secara otomatis status ekonomi mereka akan terdorong ke bawah garis kemiskinan.
4. “Drama Data” & Bansos yang Nggak Tepat Sasaran
Efektivitas program pengentasan kemiskinan Bontang sering terganjal masalah klasik: validitas data.
Dualisme Angka: Adanya perbedaan mencolok antara data BPS (relatif rendah) dan data dari sumber lain, seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang mencatat angka jauh lebih tinggi, menciptakan kebingungan.
Politisasi dan Kedekatan: Ketidakakuratan data ini berisiko membuat bantuan sosial (Bansos) menjadi tidak tepat sasaran. Bantuan yang seharusnya diterima oleh 16 ribu jiwa, malah hanya didasarkan pada data 7 ribu jiwa. Parahnya, isu ini rentan terhadap politisasi atau masuknya nama-nama berdasarkan kedekatan. Warga miskin ekstrem yang beneran butuh, malah terlewatkan. Bisa disimpulkan Bontang kaya, tapi kekayaan itu tidak merata. Isu kemiskinan di Bontang bukan karena kotanya tidak punya uang, melainkan karena struktur ekonominya yang eksklusif dan mekanisme pembagian hasilnya yang timpang, diperparah dengan mahalnya biaya hidup dan problem data dalam penyaluran bantuan. Kota ini harus beralih dari sekadar kaya APBD menjadi kaya SDM yang mampu bersaing di industri 4.0. (tim redaksi nusaetamnews.com)