Insentif Rp25 Juta: Solusi ‘Sultan’ Kaltim atau Sekadar ‘P3K’ Distribusi Dokter Spesialis?
Keputusan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk mengalokasikan anggaran fantastis sebesar Rp16,8 miliar demi memberikan insentif bulanan hingga Rp25 juta bagi dokter spesialis yang bersedia siaga 24 jam di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit daerah, patut diacungi jempol. Langkah ini adalah respons cepat dan berani dari Bumi Etam dalam menghadapi masalah klasik dunia kesehatan: krisis pemerataan dokter spesialis.
Data Dinas Kesehatan Kaltim menunjukkan realitas pahit: hampir separuh (45,5 persen) rumah sakit milik pemerintah di Kaltim belum memiliki formasi lengkap tujuh spesialisasi dasar. Kesenjangan ini paling terasa di daerah terpencil seperti Mahakam Ulu, Kutai Barat, Kutai Timur, Berau, dan Paser. Ketika masalah kesehatan darurat datang, ketiadaan spesialis di IGD bisa berarti beda tipis antara hidup dan mati bagi pasien.
Jebakan Uang Cepat vs. Solusi Jangka Panjang
Insentif Rp25 juta jelas merupakan magnet yang sangat kuat. Di tengah persaingan tenaga medis di tingkat nasional, tawaran ini menjadikan Kaltim salah satu daerah dengan take-home pay paling kompetitif. Ini adalah langkah yang pragmatis—menggunakan kekuatan fiskal daerah yang mumpuni untuk menarik SDM ahli yang langka. Dalam jangka pendek, kebijakan ini diyakini akan segera mengisi kekosongan dokter spesialis siaga di IGD.
Namun, di sinilah letak kritiknya. Pertanyaannya bukan apakah dokter akan datang, tetapi apakah mereka akan bertahan?
Insentif yang tinggi seringkali menjadi solusi “Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan” (P3K) sementara, bukan obat mujarab. Kebijakan ini berisiko menciptakan “dokter kutu loncat” yang hanya singgah selama masa kontrak insentif, lalu pindah ke daerah lain yang menawarkan lebih tinggi, atau kembali ke kota besar.
Yang Dibutuhkan Dokter Bukan Hanya “Gaji Sultan”
Untuk mewujudkan pemerataan yang berkelanjutan, Kaltim perlu memikirkan ekosistem kesehatan secara menyeluruh, bukan sekadar “gaji sultan.”
- Kepastian Karir dan Kenyamanan Kerja: Dokter spesialis juga membutuhkan kejelasan pola karir, kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sub-spesialis, dan fasilitas rumah sakit yang memadai (peralatan modern). Uang bisa menarik mereka datang, tetapi lingkungan kerja yang profesional yang membuat mereka betah.
- Kesejahteraan Keluarga: Dokter yang bertugas di daerah terpencil juga memikirkan kualitas pendidikan anak dan aksesibilitas untuk keluarga. Pemerintah perlu menyentuh aspek non-finansial ini.
- Regulasi Permanen: Insentif berbasis dana APBD rentan terhadap perubahan kebijakan kepala daerah. Kaltim harus berani mendorong regulasi permanen (Perda atau Pergub) yang menjamin insentif ini sebagai bagian integral dari kebijakan daerah, sehingga tidak terombang-ambing oleh perubahan politik.
Program insentif Rp25 juta adalah sinyal positif bahwa Pemprov Kaltim menempatkan kesehatan masyarakat sebagai prioritas. Ini adalah starting point yang baik untuk menarik perhatian. Kini, tantangannya adalah mengubah insentif ini dari sekadar “iming-iming” menjadi komitmen jangka panjang yang didukung oleh perbaikan infrastruktur dan pola karir yang jelas. Hanya dengan begitu, krisis dokter spesialis di Kaltim dapat diatasi secara fundamental, bukan hanya ditambal sulam.
Salam Redaksi
Setia Wirawan