Subscribe

Hukum Masih “Panglima Wacana” di Era Prabowo-Gibran

3 minutes read
2 Views

Hampir setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, janji menjadikan hukum sebagai panglima yang diucapkan saat pelantikan (20 Oktober 2024) tampaknya masih jadi cita-cita yang jauh. Hukum memang berjalan, tapi belum sepenuhnya berdaulat—masih terlihat lemah menghadapi intervensi kekuasaan.

Reformasi hukum yang dijanjikan, khususnya dalam misi Asta Cita, masih mandek di permukaan, belum menyentuh akar masalah moral dan politik.

Reformasi Polri: Wacana Komite vs. Realita Internal

Janji besar Presiden Prabowo adalah membentuk Komite Reformasi Polri, sebuah lembaga independen yang diisi tokoh hukum senior, bertujuan membersihkan citra kepolisian dan memulihkan kepercayaan publik.

  • Status: Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra sudah menyebut rencana pelibatan tokoh senior, namun hingga kini belum ada Keputusan Presiden (Keppres) resmi yang diterbitkan.
  • Realita: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hanya membentuk Tim Reformasi Internal Polri.
  • Kritik: Tanpa legitimasi politik kuat (Keppres), reformasi Polri berisiko sekadar menjadi program seremonial tanpa transformasi mendasar. Reformasi hukum tanpa kepemimpinan moral hanya melahirkan birokrasi baru.

KPK Kian Hati-Hati, Kejaksaan Main Aman

Kinerja lembaga penegak hukum utama menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun sama-sama belum menunjukkan independensi penuh dari kepentingan kekuasaan.

Kinerja KPK: Low-Key

  • Sorotan: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya mencatat dua Operasi Tangkap Tangan (OTT) di semester I 2025—angka terendah dalam beberapa tahun terakhir.
  • Pembelaan: Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto meminta maaf dan mengakui bahwa “penjahatnya kini lebih pintar.”
  • Kritik Publik: Meski menambah tiga OTT di paruh kedua dan memulihkan Rp500 miliar, publik menilai KPK terlalu berhati-hati. Keberanian lembaga antirasuah ini dianggap menurun karena politik semakin kuat mencengkeram.

Kinerja Kejaksaan Agung: Aktif di Zona Aman

  • Prestasi: Kejaksaan Agung (Kejagung) tampil aktif, berhasil memulihkan aset kasus Jiwasraya senilai Rp5,56 triliun dan menangkap sejumlah buronan korupsi.
  • Catatan Publik: Mayoritas kasus yang ditangani berada di sektor ekonomi dan teknis, belum banyak yang menyentuh lingkar kekuasaan.
  • Kesimpulan: Keberhasilan Kejagung dianggap lebih sebagai pencapaian administratif ketimbang keberanian moral, karena penegakan hukum belum menunjukkan independensi penuh terhadap kekuasaan.

Legislasi dan Ketimpangan Keadilan: Tajam ke Bawah

Langkah legislasi pemerintah juga menuai kritik, seiring dengan masih tingginya ketimpangan keadilan.

Kritik Legislasi

Pemerintah tengah mendorong pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Perampasan Aset.

  • RUU KUHAP: Dikhawatirkan memperluas kewenangan penyidik tanpa pengawasan yudisial yang memadai, berisiko melahirkan hukum yang otoriter.
  • RUU Perampasan Aset: Meski baik untuk pemulihan kerugian negara, dinilai rentan disalahgunakan tanpa pengawasan ketat.

Hukum Tumpul ke Atas

Laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, lebih dari 70 persen perkara pidana di pengadilan masih berasal dari pelanggaran ringan (Agustus 2025).

  • Ketimpangan: Ini menunjukkan bahwa hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat kecil mudah dijerat, sementara perkara besar yang melibatkan pejabat atau korporasi kerap lamban.
  • Wacana Pengampunan Koruptor: Ide pengampunan bagi koruptor yang mengembalikan uang hasil kejahatan dikritik keras. Korupsi adalah kejahatan moral, bukan sekadar pelanggaran administratif yang bisa ditebus dengan uang. Wacana ini dianggap mengaburkan moralitas hukum.

Tantangan Tahun Kedua: Dari Wacana ke Aksi Nyata

Satu tahun berlalu, arah kebijakan hukum terlihat jelas: penegakan hukum masih terbatas di tataran teknis.

  • KPK harus berani kembali mengguncang kekuasaan.
  • Kejaksaan harus membuktikan independensinya dengan menyentuh kasus-kasus di lingkar kekuasaan.
  • Polri perlu menjalankan reformasi nyata, bukan sekadar di ruang rapat.

Tanggung jawab terbesar ada di tangan Presiden. Publik menanti langkah konkret yang menunjukkan keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Hukum yang berdaulat butuh pemimpin yang jujur dan aparat yang berintegritas. Menjelang satu tahun, hukum di Indonesia masih berjuang untuk merdeka dan berwibawa. (TK/one)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *