Horor di Favela Rio Brasil: Operasi Polisi Paling Berdarah Sejak ’90, 121 Tewas
Rio de Janeiro, Brasil—Pukul 6 pagi di hari Selasa (28/10), ponsel fotografer Bruno Itan banjir notifikasi. Rumor tembakan di Complexo do Alemão, tempat ia dibesarkan, langsung membangunkannya. Pagi itu, ia tak tahu, ia akan menyaksikan sejarah kelam: operasi polisi paling mematikan di wilayah metropolitan Rio sejak tahun 1990.
Operasi ini, yang dijuluki pemerintah setempat sebagai “keberhasilan,” menewaskan setidaknya 121 orang dan menangkap 113 lainnya. Bayangkan, 2.500 petugas keamanan menyerbu kawasan seluas 9 juta meter persegi—setara 12 kali Kompleks GBK Jakarta! Tujuannya? Menghantam ekspansi geng Comando Vermelho.Gubernur Claudio Castro menyebutnya “pukulan telak bagi kejahatan.” Tapi bagi warga dan aktivis HAM, ini adalah “pembantaian.”
“Hukuman Mati Diterapkan Polisi”
Bruno Itan, yang lahir di Recife dan besar di favela, tak setuju dengan klaim sukses itu. “Di Brasil tidak ada hukuman mati. Setiap penjahat, apa pun perbuatannya, harus ditangkap dan diadili. Tapi kemarin di Complexo do Alemão dan Complexo da Penha, hukuman mati telah diterapkan,” tegas Bruno. “Yang menentukan siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati adalah polisi sendiri.”

Bruno, pendiri proyek fotografi gratis Olhar Complexo, meninggalkan rumahnya begitu tahu skala operasi itu. Setibanya di lokasi, pukul 10.00, ia disambut pemandangan mobil terbakar, lubang peluru di mana-mana, dan warga panik. “Warga melaporkan banyaknya kebrutalan polisi,” katanya.
Pencarian Mayat dan Kecurigaan Manipulasi
Situasi makin mencekam di malam hari. Wartawan dilarang masuk kompleks Penha, tapi Bruno, yang besar di sana, berhasil menyelinap hingga subuh. Ia memotret pemandangan pilu: warga mencari sendiri sanak saudara yang hilang.
Di pagi hari, keluarga-keluarga mengevakuasi setidaknya 55 jenazah dari perbukitan, lalu menumpuknya di Alun-alun São Lucas.
“Keluarga-keluarga pergi sendiri untuk mengevakuasi jenazah… Mereka menutupi jenazah dengan terpal dan membawanya ke Alun-alun Complexo da Penha… Awalnya 20, lalu terus bertambah, 25, 30, 35, 40, 45 jenazah tiba… Mereka adalah nyawa,” kenang Bruno getir.
Namun, Kepolisian Sipil Rio berencana menyelidiki pemindahan jenazah ini, mencurigai adanya “kecacatan prosedural.” Pejabat kepolisian, Felipe Curi, menuduh jenazah dimanipulasi: “Kami punya gambar semua jenazah mengenakan pakaian kamuflase, rompi antipeluru, dan membawa senjata perang. Kemudian, beberapa jenazah muncul hanya mengenakan pakaian dalam… Tampaknya mereka memasuki sebuah gedung dan berganti pakaian.”
Trauma dan Bau Kematian

Yang paling mengejutkan Bruno adalah temuan mengerikan: jenazah dipenggal, cacat total, bahkan dengan luka tusuk.
“Ini tidak normal,” kata Bruno, yang langsung teringat pada pembantaian Carandiru tahun 1992. “Yang benar-benar mengejutkan saya adalah jumlah jenazah dengan luka tusuk… ada banyak foto yang menunjukkan bahwa itu adalah akibat senjata tajam, mengerti?”
Hingga kini, “bau kematian” masih menghantui Bruno. “Baunya tetap ada bahkan di dalam jiwa saya,” ujarnya.
Meskipun pernah mendokumentasikan operasi kejam lain, seperti di Jacarezinho (2021) yang menewaskan 28 orang, Bruno Itan mengaku tak ada yang sebanding dengan apa yang ia saksikan pada 28 Oktober.
Masa Depan Favela?
Kasus ini kini diusut. Kejaksaan Federal meminta data autopsi dan menuntut pemerintah Rio menunjukkan kepatuhan terhadap aturan penggunaan kamera tubuh oleh petugas, justifikasi operasi, dan penyediaan ambulans.
Bagi Bruno, yang telah lelah dan frustrasi, akar masalahnya jelas: kebijakan keamanan di favela selalu berbasis kekerasan, bukan aksi sosial.
“Sayangnya, kebijakan keamanan publik untuk favela selalu didasarkan pada ancaman senapan,” keluhnya. “Saya jamin, ketika seseorang tewas dalam perdagangan narkoba, ada dua atau tiga orang lagi yang akan terjerumus lagi.” (bbc/one)