Subscribe

Di Balik Perjuangan Hukum, Tersimpan Kelakar Diplomat yang Humanis

3 minutes read

Indonesia berutang besar pada nama Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Pria kelahiran Batavia (1929) yang baru saja dianugerahi gelar Pahlawan Nasional ini dikenang sebagai “Arsitek Hukum Laut Indonesia”. Namun, di balik gelar akademis dan karier diplomatik yang cemerlang—termasuk menjabat sebagai Menteri Kehakiman (1974–1978) dan Menteri Luar Negeri (1978–1988)—tersimpan kisah tentang sosok yang rendah hati, piawai mencairkan suasana, dan berpegang teguh pada prinsip hidup sederhana.

Sisi Humanis dan Diplomasi “Kelakar”

Perjuangan Mochtar untuk mengesahkan konsep Negara Kepulauan, yang membuat wilayah laut Indonesia bertambah drastis dari 12 mil menjadi sekitar 5,4 juta kilometer persegi, bukanlah perkara mudah. Ia menghabiskan waktu 25 tahun, dari Deklarasi Djuanda 1957 hingga pengakuan dunia dalam UNCLOS 1982.

Namun, yang sering diceritakan oleh rekan-rekan diplomat dan kolega adalah keahliannya dalam mencairkan suasana perundingan yang serius dan menegangkan. Mochtar dikenal cepat berpikir dan sering melontarkan kelakar (humor) untuk meredakan ketegangan, mengubah suasana formal menjadi lebih informal.

Salah satu contoh yang dikenang adalah pendekatannya dalam konflik Kamboja di tahun 1978, di mana ia memilih jalur diplomasi non-formal melalui “cocktail party” (acara koktail) untuk membangun komunikasi dan mencari solusi, menunjukkan fleksibilitas dan pendekatan personal yang melampaui birokrasi kaku.

Pesan Sederhana untuk Generasi Muda

Sebagai Guru Besar dan mantan Dekan Fakultas Hukum serta Rektor di Universitas Padjadjaran (Unpad), Mochtar Kusumaatmadja juga meninggalkan warisan berupa filosofi hidup dan karier yang sangat humanis. Salah satu mentee beliau, Prof. Hikmahanto Juwana (Guru Besar FHUI), mengenang nasihat berharga dari Mochtar terkait empat fase kehidupan karier:

  1. Fase Pendidikan: Fokus pada pendidikan dan pembangunan diri.
  2. Fase Kemampuan/Tugas: Membuktikan kemampuan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan.
  3. Fase Jaringan: Membangun jaringan ke berbagai pihak untuk dikenal.
  4. Fase Cash In (Hasil Finansial): Baru didapatkan setelah usia 40 tahun, sebagai hasil dari pendidikan, kemampuan, dan jaringan yang dibangun di fase-fase awal.

Beliau berpesan, “Di tiga fase awal ini, jangan memikirkan uang. Uang penting, namun bukan tujuan.”

Nasihat ini mencerminkan integritas dan pandangan hidupnya bahwa sukses sejati diukur bukan dari kekayaan finansial semata, melainkan dari kontribusi nyata dan penanaman nilai. Hal ini sekaligus menunjukkan sosok pendidik yang tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga etika dan moralitas dalam meniti karier.

Warisan Abadi Sang Pahlawan

Mochtar Kusumaatmadja wafat pada 6 Juni 2021 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pengakuan gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 2025 menjadi puncak penghormatan atas jasa-jasanya, terutama dalam menyatukan ribuan pulau Indonesia menjadi satu kesatuan kedaulatan maritim.

Warisan pemikiran dan pendekatannya—bahwa hukum adalah alat pembangunan dan diplomasi memerlukan sentuhan humanis dan kelenturan—akan terus menjadi inspirasi bagi para akademisi, diplomat, dan generasi muda bangsa. (one/berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *