Subscribe

Daerah penghasil SDA adalah mitra, bukan kasir darurat bagi Pusat

3 minutes read
1 Views
Sudah tiga dekade Marwati, perempuan adat Paser yang tinggal di RT012, Desa Rangan, Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (Kaltim) gelap-gelapan meski tinggal di provinsi dengan lumbung energi nasional. Penetapan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) yang bersebelahan dengan kabupaten tempat tinggalnya tak mengubah nasibnya.

Wacana pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD), khususnya komponen Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan batubara, oleh Pemerintah Pusat adalah alarm yang membunyikan kembali ironi lama dalam sistem desentralisasi fiskal Indonesia. Daerah-daerah yang menjadi lumbung kekayaan energi nasional—yang tanahnya digali, hutannya dibuka, dan lingkungannya menanggung beban eksploitasi—kini justru harus menjerit lantaran hak keuangan mereka dipangkas demi menambal defisit atau menyehatkan kas nasional. Ini bukan sekadar persoalan angka, melainkan masalah keadilan mendasar yang mengancam otonomi daerah.

Ketidakseimbangan yang Sudah Kronis

Sebelum wacana pemotongan ini mencuat, mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) sudah dianggap tidak proporsional. Ambil contoh sektor migas. Pemerintah Pusat masih mengambil porsi terbesar (mayoritas 70-85 persen), sementara daerah penghasil hanya menerima persentase kecil (misalnya 5-15 persen). Padahal, dampak sosial dan lingkungan dari eksploitasi migas dan batubara—mulai dari kerusakan infrastruktur, polusi, hingga konflik agraria—ditanggung penuh oleh masyarakat di daerah penghasil.

Ketika Pusat memutuskan untuk memangkas TKD, entah dengan dalih “efisiensi” atau “menyehatkan fiskal,” yang menjadi korban pertama adalah hak-hak daerah penghasil yang sudah minim. Pemotongan ini bukan hanya mengurangi kemampuan daerah untuk membiayai belanja pembangunan dan infrastruktur, tetapi juga berisiko mengganggu layanan publik dasar, seperti gaji ASN, tunjangan kinerja, hingga alokasi sektor pendidikan dan kesehatan.

Otonomi di Bawah Bayang-Bayang Sentralistik

Keputusan pemangkasan TKD, terutama yang menyasar DBH, menunjukkan adanya kecenderungan resentralisasi fiskal terselubung. Roh utama Reformasi 1998 adalah desentralisasi, memberikan kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya dan keuangannya sendiri. Namun, ketika hak keuangan yang sudah diatur—meski minim—bisa dipotong secara drastis, ini mengisyaratkan bahwa otonomi daerah hanya tinggal slogan. Daerah dipaksa untuk mohon-mohon kepada Pusat atas hak yang sejatinya berasal dari tanah mereka sendiri.

Kondisi ini menciptakan paradoks: daerah yang menyumbang devisa dan kekayaan alam terbesar bagi negara justru menjadi daerah yang serba terbatas dalam membangun dirinya. Pengamat kebijakan publik bahkan menyebut “Dana Bagi Hasil” sebagai istilah yang menyesatkan, karena faktanya Pusat mengambil besar-besaran, lalu mengembalikan sebagian kecil, dan kini sebagian kecil itu pun ingin dipotong.

Solusi Jangka Panjang: Reformasi DBH yang Adil

Pemerintah Pusat harus menghentikan kebijakan hit-and-run yang reaktif ini. Jika alasannya adalah tata kelola dan efisiensi anggaran daerah, seharusnya solusi yang ditawarkan adalah pengawasan yang lebih ketat atau insentif berbasis kinerja, bukan mengebiri otonomi fiskal daerah secara keseluruhan.

Langkah mendesak yang harus dilakukan adalah:

  1. Kaji Ulang Proporsi DBH: Pemerintah dan DPR harus segera merevisi formula DBH migas dan batubara agar lebih berimbang dan adil, mencerminkan dampak eksploitasi yang ditanggung daerah.
  2. Kepastian Penyaluran: Memastikan penyaluran DBH sesuai jadwal dan tidak ditunda atau dipotong secara sepihak, karena ini mengganggu stabilitas APBD.
  3. Mekanisme Pemotongan Berjenjang: Jika efisiensi harus dilakukan, pemotongan TKD harus dilakukan secara bertahap dan tidak boleh menargetkan DBH daerah penghasil yang sudah berkorban besar.

Daerah penghasil migas dan batubara adalah mitra, bukan kasir darurat bagi Pusat. Mengabaikan hak-hak fiskal mereka sama dengan mengabaikan janji keadilan dan semangat desentralisasi. Keadilan fiskal harus menjadi panglima, bukan hanya kepentingan fiskal Pusat semata. (setia Wirawan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *