Subscribe

Bukan Hanya Hujan, Ini Panggilan Siaga Bencana!

2 minutes read

Bulan November telah tiba, membawa serta janji peningkatan intensitas curah hujan di hampir sebagian besar wilayah Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan tegas: kita memasuki fase puncak musim hujan, yang diperkirakan akan berlangsung hingga Februari 2026. Ini bukan sekadar pergantian cuaca biasa, melainkan panggilan siaga terhadap ancaman bencana hidrometeorologi yang mengintai.

Ramalan BMKG menyebutkan bahwa potensi hujan lebat hingga sangat lebat terkonsentrasi di berbagai pulau besar—dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku dan Papua. Bahkan, wilayah selatan Indonesia perlu mewaspadai potensi peningkatan aktivitas siklon tropis yang, berdasarkan sejarah, dapat memicu badai ekstrem serupa Badai Seroja pada tahun 2021.

Waspada Dampak Ganda

Curah hujan tinggi yang dipicu oleh kondisi atmosfer yang labil, monsun Asia yang aktif, dan suhu muka laut yang hangat, membawa dampak ganda yang harus diantisipasi segera:

  1. Bencana Alam: Risiko banjir, banjir bandang, dan tanah longsor meningkat drastis, terutama di daerah dataran rendah, kawasan perkotaan dengan drainase buruk, dan wilayah perbukitan. Bencana ini tidak hanya merenggut nyawa dan harta, tetapi juga melumpuhkan infrastruktur dan mengganggu aktivitas ekonomi.
  2. Ancaman Kesehatan: Genangan air dan lingkungan yang lembab menjadi hotspot ideal bagi penyebaran penyakit, mulai dari Demam Berdarah Dengue (DBD) hingga penyakit kulit dan Leptospirosis yang dibawa oleh tikus.

Dari Prediksi Menjadi Aksi Kolektif

Prediksi cuaca ekstrem harus direspons bukan hanya oleh pemerintah, melainkan oleh seluruh elemen masyarakat. Data dan peringatan dini dari BMKG adalah modal awal, namun eksekusi mitigasi ada di tangan kita semua.

Pemerintah Daerah harus segera mengaktifkan posko siaga bencana, memastikan kesiapan logistik, dan yang paling krusial, mempercepat normalisasi dan pembersihan saluran drainase serta sungai. Upaya modifikasi cuaca (OMC) yang dilakukan di beberapa daerah rawan harus terus dievaluasi efektivitasnya.

Sementara itu, Masyarakat memegang peran sentral dalam pencegahan. Budaya membersihkan saluran air secara mandiri, tidak membuang sampah sembarangan yang bisa menyumbat aliran air, serta melakukan pengecekan berkala terhadap kondisi lereng dan tebing di sekitar hunian harus menjadi prioritas.

Pesan kuncinya sederhana: Kita tidak bisa menghentikan hujan, tapi kita bisa meminimalkan risikonya. Kesiapsiagaan kolektif adalah payung terkuat di tengah puncak musim hujan ini.

Mari jadikan bulan-bulan basah ini sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas, disiplin lingkungan, dan budaya tanggap bencana, agar Indonesia bisa melewati periode cuaca ekstrem ini dengan kerugian yang seminimal mungkin.

Salam Redaksi

Setia Wirawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *