Borneo Gen-Shock :Ketika Proyek IKN Mengancam Nasib Gen Z dan Milenial Lokal Kaltim
Nusaetamnews.com : Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim) menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan peluang karir yang masif. Namun, di balik hype infrastruktur dan investasi triliunan, muncul bayang-bayang masalah serius yang mengancam Generasi Z dan Milenial lokal: Kesenjangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Krisis Kesehatan Mental yang tersembunyi.
Jika tidak segera diatasi, generasi muda Kaltim berisiko menjadi penonton di tanah sendiri, hanya menyerap posisi-posisi non-strategis, sementara lapangan kerja elite di IKN didominasi oleh pendatang dengan kualifikasi yang lebih tinggi.
Pertama, Ancaman Tenaga Kerja Lokal Jadi Penonton, isu terbesar yang dihadapi generasi muda Kaltim adalah ketidaksesuaian keterampilan (skill mismatch) dengan tuntutan industri yang dibawa IKN. Data menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja lokal Kaltim dalam proyek konstruksi IKN masih di bawah 50%, bahkan ada sumber yang menyebutkan 70% pekerja konstruksi adalah pendatang (Tenaga Kerja Luar). Pekerja lokal seringkali hanya mengisi posisi non-teknis karena kurangnya sertifikasi dan keahlian spesifik yang dibutuhkan.
Meskipun Kaltim secara keseluruhan memiliki indeks literasi digital yang cukup baik, kualitas perguruan tinggi lokal dan kurikulum pendidikan kejuruan masih dihadapkan pada kritik. Mahasiswa dan lulusan muda Kaltim perlu akses yang lebih merata ke pelatihan keterampilan digital, green economy, dan teknologi mutakhir yang akan menjadi tulang punggung IKN.
Gig Economy yang Belum Optimal: Gen Z dan Milenial cenderung menyukai pekerjaan fleksibel (gig economy). Namun, tanpa ekosistem digital dan platform yang kuat serta legalitas yang jelas di tingkat daerah, potensi freelancer lokal, kreator konten, dan pelaku UMKM digital sulit bersaing dengan pelaku bisnis dari kota besar lain yang sudah matang.
Revolusi Pelatihan Vokasi dan Sertifikasi Profesi harus diaktifkan besar-besaran, terintegrasi langsung dengan kebutuhan sektor IKN (konstruksi pintar, energi terbarukan, dan pemerintahan digital).
KRISIS MENTAL: Tekanan Sosial dan Gaya Hidup Urban
Selain tantangan ekonomi, Gen Z dan remaja Milenial Kaltim juga menghadapi peningkatan kasus gangguan kesehatan jiwa yang dipicu oleh tekanan hidup modern dan faktor sosial. Angka Gangguan Jiwa yang Tinggi: Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim sempat menyoroti bahwa sekitar 50% remaja di Kaltim mengalami masalah kesehatan jiwa. Ini adalah angka yang mengkhawatirkan dan menjadi bom waktu bagi produktivitas SDM di masa depan.
Tekanan Sosial-Akademik: Ekspektasi tinggi dari orang tua, tuntutan akademik, dan perbandingan sosial di media (terutama di Balikpapan dan Samarinda yang lebih urban) memicu stres, kecemasan, hingga kasus self-diagnosis di kalangan remaja
Akses Layanan Psikologis Terbatas: Layanan kesehatan mental (Psikolog dan Psikiater) yang terjangkau dan mudah diakses, terutama di daerah yang lebih terpencil di luar Samarinda dan Balikpapan, masih minim. Stigma terhadap masalah mental juga masih sangat kuat di kalangan masyarakat Kaltim, menghambat mereka untuk mencari bantuan profesional.
Integrasi Layanan Kesehatan Mental ke dalam Puskesmas, penyediaan Psikolog Sekolah yang memadai, dan kampanye masif untuk menghilangkan stigma adalah langkah yang tidak bisa ditunda lagi.
TANTANGAN KEPEMILIKAN HUNIAN dan KETERJANGKAUAN BIAYA HIDUP
Pembangunan IKN secara langsung dan tidak langsung telah menaikkan harga properti dan biaya hidup di kota penyangga seperti Balikpapan dan Samarinda. Lonjakan Harga Properti: Spekulasi tanah di sekitar area IKN dan kota penyangga telah menyebabkan harga tanah dan properti melonjak tajam, membuat Gen Z dan Milenial lokal kesulitan memiliki rumah pertama, meskipun sudah bekerja. Program pemerintah seperti FLPP dengan DP 1% belum sepenuhnya mengatasi masalah ketersediaan unit yang sesuai dengan lokasi kerja strategis.
Kemudian Kesenjangan Kesejahteraan: Kedatangan ASN dan pekerja berkualifikasi tinggi ke IKN berpotensi meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pekerja lokal Kaltim dan pendatang. Hal ini berujung pada rasa terasing (alienation) dan tekanan ekonomi bagi kaum muda lokal. Oleh karenanya Perlu adanya kebijakan properti afirmatif (misalnya, insentif pajak atau kuota khusus) yang memprioritaskan Gen Z dan Milenial Kaltim untuk mengakses hunian terjangkau di sekitar kawasan IKN dan kota penyangga.
IKN Harus Menjadi Katalisator, Bukan Ancaman
Ibu Kota Nusantara seharusnya menjadi katalisator untuk meningkatkan kualitas hidup dan kompetensi Gen Z dan Milenial Kaltim, bukan sebaliknya. Pemerintah Provinsi, didukung oleh Pemerintah Pusat, harus segera mengalihkan fokus dari sekadar pembangunan fisik IKN ke pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal.
Tanpa intervensi serius dan terencana dalam mengatasi tiga isu krusial ini—Kompetensi, Kesehatan Mental, dan Kesejahteraan—mimpi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi milik generasi pendatang, sementara kaum muda Kaltim hanya bisa melihat dari pinggir sungai Mahakam. (SW)