Banjir Kap: Warisan Ekologis Era Keemasan Kayu Kalimantan Timur
Kalimantan Timur (Kaltim) pernah mengalami periode booming yang luar biasa, dikenal sebagai Era Keemasan Kayu pada dekade 1970-an hingga awal 1990-an. Saat itu, kayu gelondongan menjadi komoditas ekspor primadona kedua setelah minyak bumi, membawa kemakmuran instan dan julukan “Banjir Kap” (Kap adalah istilah untuk kayu gelondongan, sering diartikan sebagai “banjir kayu”). Namun, di balik kemakmuran ini tersimpan warisan ekologis yang pahit: kerusakan hutan masif yang menjadi akar bencana banjir tahunan hingga hari ini.

1. Era “Banjir Kap” dan Industri Kayu Lapis
Banjir Kap merujuk pada pemandangan ribuan batang kayu gelondongan (log) yang dihanyutkan melalui Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya, menuju pabrik-pabrik kayu lapis (plywood) di Samarinda dan sekitarnya, atau langsung ke kapal-kapal asing.
Mekanisme Eksploitasi
Eksploitasi dimulai setelah pemerintah mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) besar-besaran. Penebangan dilakukan di hulu dan pedalaman. Agar kayu dapat diangkut tanpa biaya mahal, penebang memanfaatkan aliran sungai. Kayu gelondongan menunggu air pasang atau curah hujan tinggi, lalu diikat menjadi rakit besar dan dihanyutkan (logging raft) melalui jaringan sungai.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Secara ekonomi, era ini menciptakan “orang kaya baru” (OKB) di Kaltim dan memicu urbanisasi besar-besaran. Ribuan warga bekerja di sektor kehutanan, baik sebagai penebang, antemar (calo kayu), maupun buruh pabrik kayu lapis. Kota-kota seperti Samarinda dan Balikpapan tumbuh pesat berkat perputaran uang dari bisnis kayu. Kemakmuran ini, sayangnya, sering kali dibayar mahal dengan pengabaian terhadap keberlanjutan lingkungan.
Jejak Kerusakan dan Hilangnya Fungsi DAS
Aktivitas “Banjir Kap” secara langsung maupun tidak langsung meninggalkan luka permanen pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam, mengubah hutan dan tanah Kaltim dari penyerap air menjadi pemicu banjir.
Deforestasi dan Hilangnya Daya Serap, yang disebabkan, Penebangan kayu besar-besaran, baik legal maupun ilegal yang merajalela, mengakibatkan hilangnya hutan primer di wilayah hulu DAS. Hutan adalah “spons” alami yang berfungsi menahan air hujan, melepaskannya perlahan ke sungai. Ketika hutan hilang, lapisan tanah penahan air juga tergerus erosi.
Kemudian terjadi Erosi dan Sedimentasi Sungai, Tanah yang terbuka tanpa tutupan vegetasi mudah tererosi saat hujan. Lumpur dan tanah yang terbawa air mengalir ke sungai, menyebabkan sedimentasi (pendangkalan) yang parah di Sungai Mahakam, Sungai Karang Mumus, dan danau-danau kaskade (Semayang, Melintang, Jempang). Pendangkalan ini mengurangi kapasitas sungai menampung debit air.
Perubahan Tata Ruang yang Ekstrem, Sejak era kayu meredup dan digantikan oleh komoditas batubara, kerusakan diperparah oleh perambahan hutan untuk perkebunan sawit dan pertambangan terbuka (batubara). Kegiatan tambang sering meninggalkan lubang-lubang besar yang tidak direklamasi dan mempercepat erosi tanah. Sementara itu, kawasan resapan air alami di perkotaan berubah menjadi permukiman padat—terutama di bantaran sungai—seperti yang terjadi di Samarinda.
Banjir Sebagai Bencana Tahunan
Kombinasi antara deforestasi hulu (menyebabkan air cepat turun), pendangkalan sungai (mengurangi daya tampung), dan pembangunan di kawasan resapan (menghambat drainase), telah mengubah bencana banjir di Kaltim—khususnya Samarinda—menjadi fenomena tahunan yang sulit dihindari.
Salah satu momen terburuk adalah Banjir Besar Samarinda pada tahun 1998. Bencana ini bukan hanya karena faktor alam (seperti fenomena La Nina yang menyebabkan curah hujan tinggi), tetapi diperparah oleh Jebolnya Waduk Benanga: Waduk yang dibangun untuk irigasi, yang juga berfungsi sebagai penampung air dari hulu Sungai Karang Mumus, tidak sanggup menahan debit air yang luar biasa besar karena daerah tangkapan airnya telah rusak.
Kondisi ini diperparah dengan kiriman Air Cepat: Dengan hutan yang botak di hulu, air hujan mengalir deras tanpa tertahan, membanjiri kota yang sudah rentan akibat penyempitan alur sungai.
Banjir yang terjadi di Samarinda, Kutai Kartanegara, Berau, dan Kutai Timur hingga kini adalah warisan keterlanjuran ekologis dari era “Banjir Kap” dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan sesudahnya. Ini adalah alarm keras bahwa jasa lingkungan (fungsi hutan sebagai pengendali air) jauh lebih berharga daripada keuntungan ekonomi jangka pendek dari penebangan kayu.
Mengatasi banjir Kaltim di masa depan membutuhkan lebih dari sekadar normalisasi sungai; ia menuntut restorasi menyeluruh DAS Mahakam, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, dan perubahan fundamental dalam tata ruang yang mengutamakan kelestarian hutan dan fungsi alam. (Setia Wirawan)