Subscribe

Bahasa Adalah Peta Budaya Yang Tak Ternilai Harganya

2 minutes read

Ancaman kepunahan bahasa daerah di Kalimantan Timur (Kaltim) bukan lagi desas-desus, melainkan sebuah lonceng darurat budaya yang menuntut perhatian serius. Di tengah hiruk pikuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan gegap gempita modernisasi, bahasa-bahasa ibu seperti Bahasa Kutai, Bahasa Paser, atau ragam dialek Dayak lainnya, perlahan namun pasti, mulai terpinggirkan dari lidah generasi muda. Jika tren ini berlanjut, Kaltim tidak hanya akan kehilangan kekayaan linguistik, tetapi juga akan kehilangan sebagian besar memorinya.
Penyebabnya sudah terang benderang: dominasi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal, masuknya budaya pop global melalui media digital, dan minimnya transmisi bahasa dari orang tua kepada anak di rumah. Ironisnya, di saat Kaltim menjadi pusat perhatian nasional, fondasi budayanya justru retak.
Bahasa adalah Peta Budaya. Ketika sebuah bahasa punah, yang ikut hilang adalah epistemologi (cara pandang dunia), kearifan lokal, sastra lisan, dan resep-resep tradisional yang terkandung di dalamnya. Hilangnya Bahasa Paser, misalnya, berarti hilangnya cara unik masyarakat Paser mendefinisikan hubungan mereka dengan hutan, laut, dan spiritualitas. Ini adalah kerugian intelektual yang tak ternilai harganya.
Pemerintah Provinsi Kaltim, bersama dengan instansi pendidikan dan komunitas adat, harus mengambil tindakan cepat dan terstruktur.
Langkah Penyelamatan yang Mendesak:

  1. Revitalisasi di Sekolah: Program Merdeka Belajar harus dimanfaatkan secara maksimal. Bahasa daerah wajib diajarkan dengan metode yang menyenangkan dan relevan (fun learning), bukan sekadar mata pelajaran formal yang membosankan. Libatkan penutur asli yang kompeten sebagai guru atau mentor.
  2. Digitalisasi dan Dokumentasi: Segera lakukan dokumentasi digital (audio, video, dan teks) secara masif terhadap bahasa-bahasa yang terancam. Buat kamus digital, aplikasi belajar bahasa daerah, dan konten-konten media sosial yang menggunakan bahasa ibu untuk menarik minat generasi milenial dan Gen Z.
  3. Penggunaan di Ruang Publik: Dorong penggunaan bahasa daerah di event budaya, media lokal, dan papan nama. Pemerintah daerah bisa memberi insentif atau penghargaan bagi komunitas yang aktif melestarikan bahasanya.
  4. Komitmen Keluarga: Kampanye masif perlu digalakkan untuk menyadarkan orang tua bahwa berbicara bahasa ibu di rumah bukanlah penghalang kemajuan, melainkan bekal identitas yang kokoh.
    Menyelamatkan bahasa daerah di Kaltim bukanlah tugas segelintir akademisi, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat, dari pemangku kebijakan hingga keluarga inti. Kegagalan kita dalam menjaga bahasa ibu berarti kita telah gagal mewariskan jati diri Kaltim yang sesungguhnya. Sebelum terlambat, mari kita jadikan momentum IKN ini sebagai pemicu untuk memperkuat akar budaya Kaltim, bukan sebaliknya, menenggelamkannya. Selamatkan bahasa ibu, selamatkan ingatan bangsa.

Salam Redaksi
Setia Wirawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *