RESPONS TAMBANG KALTIM: Deal Sinergi PPM Wajib, Tapi Nego Soal Transparansi
Jakarta, Nusaetamnews.com : Setelah Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud dan Wagub Seno Aji ‘mengultimatum’ perusahaan tambang di Jakarta soal penertiban PBBKB dan koordinasi PPM, bagaimana respons dari pihak industri?
Secara umum, perusahaan tambang dan asosiasi menunjukkan sinyal positif terhadap kebutuhan sinergi dan kepatuhan regulasi, namun isu transparansi dan efektifitas program CSR masih menjadi perdebatan hangat di kalangan stakeholders dan masyarakat.
1. Komitmen Kepatuhan Regulasi dan Sinergi PPM
Pihak perusahaan, yang diwakili oleh Forum PPM Minerba Kaltim, pada dasarnya mendukung penuh arah kebijakan Pemprov untuk menyelaraskan program PPM.
- Penerimaan Sinergi: Kepala Dinas ESDM Kaltim, Bambang Arwanto, yang juga hadir di forum konsultasi, menegaskan bahwa Program PPM adalah syarat mutlak operasional tambang. Perusahaan dipastikan tunduk pada kewajiban hukum ini.
- Visi Terarah: Ketua Forum PPM Minerba Kaltim, Muslim Gunawan, sebelumnya telah menjelaskan bahwa forum ini dibentuk untuk menyatukan visi program PPM agar efektif, tepat sasaran, dan selaras dengan regulasi (Permen ESDM No. 1824/2018) dan dokumen perencanaan daerah (RPD).
- Dukungan Infrastruktur: Arah kebijakan Pemprov untuk mengalihkan fokus bantuan dari beasiswa (yang overlap dengan Gratispol) ke pembangunan infrastruktur dasar (sekolah rusak dan rumah layak huni) disambut baik sebagai bentuk kegiatan yang lebih konkret dan berdampak nyata.
2. Isu Panas: Transparansi CSR Jadi Sorotan Publik
Meskipun industri menunjukkan kepatuhan, kritik tajam justru datang dari publik dan elemen masyarakat, menyoroti realisasi program di lapangan.
- Minim Akses Informasi: Diskusi publik yang digelar oleh GM FKPPI Kaltim di awal Desember 2025 di Berau menyoroti bahwa transparansi laporan, perencanaan, dan realisasi CSR perusahaan tambang masih jauh dari harapan.
- Hak Masyarakat: Ketua GM FKPPI Kaltim, Bastian, menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu mana program yang dibiayai CSR perusahaan, mana yang dari APBD, dan mana yang dari hibah pusat, karena minimnya transparansi disinyalir menjadi penyebab ketertinggalan sosial di wilayah lingkar tambang.
- Perdebatan Penghitungan: Muncul perdebatan teknis terkait history penghitungan CSR, seperti kasus di Berau di mana sejumlah besar nilai CSR di masa lalu dihitung sebagai pemberian batu bara kalori rendah ke PLTU—suatu praktik yang kini tidak lagi diizinkan oleh aturan baru Kementerian.
Perusahaan bersedia sinergi dan patuh pada kewajiban legal PPM, tetapi PR terbesar mereka adalah meyakinkan publik bahwa dana sosial yang mereka keluarkan benar-benar transparan dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat Kaltim, bukan sekadar pemenuhan administrasi. (one)