Dilema Kaltim: Mengais Laba di Tengah Kabut Bisnis Batubara
Sebagai lumbung energi nasional, kembali menjadi sorotan dengan rencana Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memungut bagian dari keuntungan bersih perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi Kontrak/Perjanjian (PKP2B). Kebijakan ini, yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022, menetapkan kewajiban perusahaan membayar 6% dari keuntungan bersih kepada Pemda. Langkah ini dipandang sebagai upaya strategis untuk mendiversifikasi dan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tengah isu transisi energi dan kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah, terutama pasca-pembentukan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Menghitung Potensi PAD di Atas Kesejahteraan Perusahaan
Secara legal, Pemda Kaltim memiliki payung hukum yang kuat. Regulasi ini merupakan turunan dari ketentuan pusat yang memberikan porsi pendapatan daerah dari sektor tambang yang sebelumnya didominasi oleh bagi hasil pusat. Tentu, hadirnya pos pendapatan baru ini disambut baik Pemda, yang berharap dapat menutup defisit dan membiayai program kesejahteraan masyarakat.
Namun, rencana pungutan ini datang pada saat yang kurang ideal, di mana kondisi usaha batubara global sedang berada dalam fase ketidakpastian. Meskipun Kaltim masih menyumbang mayoritas produksi batubara nasional dan beberapa perusahaan diuntungkan skema pembelian jangka panjang, secara umum sektor ini menghadapi tantangan serius:
Pelemahan Harga Batubara Acuan (HBA): Penurunan harga acuan global dan kebijakan HBA yang membatasi harga jual telah mengikis margin keuntungan perusahaan. Beberapa perusahaan bahkan melaporkan penurunan penerimaan bagi hasil ke daerah akibat HBA yang rendah.
Pengawasan dan Sanksi Ketat: Pemerintah Pusat, didukung Pemda, semakin gencar menerapkan sanksi, termasuk pembekuan IUP, bagi puluhan perusahaan yang lalai dalam kewajiban lingkungan seperti penempatan Jaminan Reklamasi (Jamrek). Ini menekan biaya operasional dan kepatuhan perusahaan.
Transisi Energi Global: Jangka panjang, permintaan dan harga batubara terus terancam oleh komitmen global terhadap energi terbarukan, yang menuntut perusahaan untuk mulai memikirkan diversifikasi dan pascatambang.
Menuntut Keadilan dan Keberlanjutan
Inilah titik dilemanya: Pemda membutuhkan dana untuk pembangunan, dan kewajiban 6% itu sah di mata hukum. Namun, jika pungutan ini diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi finansial riil perusahaan, terutama saat laba tertekan, risikonya bisa besar.
Potensi PHK dan Penciutan Usaha: Peningkatan beban finansial di tengah pelemahan harga dapat memaksa perusahaan melakukan efisiensi drastis, yang ujung-ujungnya dapat berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal atau bahkan penghentian operasi, yang justru berdampak negatif pada perekonomian lokal dan PAD di masa mendatang.
Adu Klaim Keuntungan Bersih: Perlu ada mekanisme audit yang transparan dan independen untuk memastikan definisi dan penghitungan “keuntungan bersih” perusahaan benar-benar akurat. Jangan sampai Pemda memungut dari laba semu, sementara perusahaan kesulitan membayar kewajiban esensial lainnya, seperti reklamasi.
Keseimbangan antara Pungutan dan Kepatuhan: Pemda harus memastikan bahwa dana yang dipungut sejalan dengan peningkatan pengawasan terhadap kewajiban sosial dan lingkungan perusahaan. Pungutan baru ini seharusnya menjadi penguat komitmen, bukan alasan bagi perusahaan “nakal” untuk semakin mengabaikan reklamasi atau program Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
Mendorong Pendekatan Adaptif dan Transparan
Pemda Kaltim harus mengadopsi pendekatan yang fleksibel dan adaptif. Pungutan 6% dari keuntungan bersih adalah kebijakan yang tepat untuk jangka panjang, tetapi implementasinya saat ini perlu kehati-hatian.
Dialog Sektor Pemda wajib membuka ruang dialog yang intensif dan transparan dengan Asosiasi Pengusaha Batubara (APBS) dan serikat pekerja untuk memahami tekanan keuangan yang dihadapi.
Insentif Kepatuhan: Kebijakan ini bisa diselaraskan dengan insentif lain. Misalnya, perusahaan yang menunjukkan rekam jejak kepatuhan lingkungan dan PPM yang baik dapat diberikan kemudahan administratif atau prioritas.
Transparansi Anggaran: Masyarakat Kaltim berhak tahu ke mana alokasi dana 6% ini akan diarahkan. Dana ini harus diprioritaskan untuk program diversifikasi ekonomi, pemulihan lingkungan pascatambang, atau pengembangan SDM lokal agar Kaltim siap menghadapi masa depan tanpa ketergantungan batubara.
Pungutan ini adalah hak daerah, tetapi ia tidak boleh menjadi beban yang menenggelamkan roda bisnis. Keputusan Pemda Kaltim harus mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan fiskal daerah dan keberlanjutan sektor yang menjadi tumpuan ekonomi. Keuntungan bersih perusahaan harus juga diartikan sebagai keuntungan yang bersih dari masalah sosial dan lingkungan.
Salam Redaksi
Setia Wirawan