Subscribe

Mendongkrak Jati Diri di Bumi Etam: Menggalakkan Kembali Bahasa Daerah di Kalimantan Timur

3 minutes read

Kalimantan Timur (Kaltim), yang kini menyandang predikat strategis sebagai mitra Ibu Kota Nusantara (IKN), tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga warisan budaya dan bahasa daerah yang beragam. Namun, di tengah gempuran globalisasi dan arus migrasi yang kian deras, keberadaan bahasa-bahasa asli Kaltim seperti Bahasa Kutai, Paser, Banjar, dan berbagai dialek Dayak lainnya berada di titik genting. Mereka terancam punah, tergeser, dan perlahan kehilangan penutur aslinya. Fenomena ini bukanlah sekadar kehilangan kosa kata, melainkan hilangnya sepotong sejarah, identitas, dan kekayaan budaya Bumi Etam.

Bahasa daerah adalah cermin kekayaan budaya dan identitas penuturnya. Ia adalah kunci untuk memahami kearifan lokal, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan turun-temurun. Ketika bahasa daerah memudar, maka hilang pula pemahaman mendalam tentang akar budaya tersebut. Bagi Kaltim, pelestarian bahasa daerah menjadi semakin krusial mengingat posisinya sebagai lokus pembangunan IKN. Kehadiran IKN seharusnya menjadi momentum untuk mengangkat dan mempromosikan budaya lokal, bukan justru menenggelamkannya.

Disadari atau tidak, ancaman kepunahan bahasa daerah di Kaltim sudah terasa. Berbagai upaya revitalisasi, yang dipelopori oleh Kantor Bahasa Provinsi Kaltim dan didukung oleh pemerintah daerah, telah dilakukan. Program-program seperti Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) melalui kurikulum muatan lokal di sekolah, pelatihan guru utama, hingga Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) merupakan langkah nyata yang patut diapresiasi.

Namun, upaya-upaya ini tidak boleh berhenti di tataran program seremonial semata. Perlu ada penggalakan yang lebih masif dan terstruktur di semua lini masyarakat.

Pertama, penguatan di sektor pendidikan. Meskipun bahasa daerah sudah masuk sebagai muatan lokal, implementasinya harus dioptimalkan. Pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan wajib memastikan ketersediaan guru yang kompeten (maestro bahasa) serta materi ajar yang menarik dan kontekstual, terutama untuk generasi muda di tingkat SD dan SMP. Sekolah harus menjadi ‘rumah’ yang nyaman bagi siswa untuk aktif menggunakan bahasa ibu mereka.

Kedua, dukungan penuh dari keluarga dan komunitas. Bahasa daerah akan hidup jika digunakan dalam percakapan sehari-hari di rumah. Orang tua memiliki peran primer sebagai penutur dan pewaris pertama. Komunitas adat dan lembaga budaya perlu didorong untuk menggelar kegiatan-kegiatan berbasis bahasa daerah, seperti pementasan seni, cerita rakyat, atau sastra daerah.

Ketiga, kebijakan yang visioner di era IKN. Pembangunan IKN harus dilihat sebagai peluang. Pemerintah Provinsi Kaltim dan pemerintah daerah mitra IKN perlu merumuskan kebijakan yang secara eksplisit memasukkan bahasa daerah dalam ruang publik dan infrastruktur sosial IKN. Misalnya, penggunaan dwi-bahasa (Indonesia dan daerah) pada papan informasi atau promosi wisata budaya. Penempatan bahasa daerah di pusat perhatian akan menegaskan bahwa IKN dibangun di atas fondasi budaya lokal yang kuat.

Menggalakkan kembali bahasa daerah di Kaltim adalah investasi jangka panjang untuk mempertahankan jati diri dan martabat budaya lokal di tengah transformasi besar. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga bahasa, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat Bumi Etam. Jangan biarkan warisan tak ternilai ini hanya menjadi catatan sejarah yang terlupakan. Mari jadikan bahasa daerah sebagai simbol kebanggaan, perekat komunitas, dan fondasi bagi peradaban Kaltim yang modern namun tetap berakar. salam redaksi (setia Wirawan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *