Mengurai Akar Masalah: 3 Penyebab Utama Kemiskinan di Kabupaten Paser
Kabupaten Paser, dengan statusnya sebagai lumbung sawit dan tambang di Kalimantan Timur, menghadapi paradoks yang pelik: kaya sumber daya, namun masih menyimpan kantong-kantong kemiskinan structural. Kemiskinan di Paser (yang pada 2024 masih menjadi salah satu yang tertinggi di Kaltim dengan angka 8,63%) tidak lagi disebabkan oleh ketiadaan potensi ekonomi, melainkan oleh kegagalan mentransformasi kekayaan alam menjadi kesejahteraan yang inklusif.
Berikut adalah tiga penyebab utama kemiskinan di Kabupaten Paser berdasarkan analisis struktural:
1. Model Enklave Ekonomi: Pertumbuhan Tanpa Pemerataan
Penyebab paling mendasar adalah model pembangunan yang didominasi oleh industri ekstraktif (tambang batu bara dan perkebunan sawit) yang cenderung membentuk “enklave ekonomi.”
Ekonomi Terpusat: Kegiatan ekonomi utama terpusat pada korporasi besar. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tinggi, namun keuntungan utama mengalir keluar dari Paser (ke pusat, pemodal, dan investor).
Trickle-Down Effect yang Lemah: Teori bahwa kekayaan akan “menetes” ke bawah (masyarakat lokal) terbukti tidak efektif. Investasi besar tidak secara otomatis menciptakan lapangan kerja berkualitas dalam jumlah memadai bagi penduduk setempat.
Ketimpangan Upah: Terjadi disparitas upah yang sangat tajam antara pekerja dengan keterampilan teknis tinggi di sektor tambang/manajerial sawit (yang sering diisi oleh tenaga luar) dan masyarakat lokal yang mayoritas terserap di posisi upah minimum atau non-produktif.
2. Kesenjangan Keterampilan (Skill Mismatch) dan Akses Pendidikan
Industri modern sawit dan tambang membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian khusus, sementara mayoritas penduduk Paser masih berada di sektor informal atau hanya memiliki keterampilan untuk pekerjaan buruh kasar.
Pendidikan yang Tidak Relevan: Sistem pendidikan lokal belum sepenuhnya menghasilkan lulusan yang siap mengisi posisi teknis, administrasi, dan manajerial yang ditawarkan oleh perusahaan.
Akses dan Modal: Masyarakat miskin Paser menghadapi hambatan akses terhadap pendidikan tinggi dan pelatihan vokasi yang mahal. Akibatnya, mereka terjebak dalam lingkaran pekerjaan berupah rendah.
Keterbatasan Hilirisasi:Fokus Paser hanya pada pengiriman bahan mentah (batu bara dan CPO mentah) membuat minimnya industri pengolahan di daerah. Industri hilir adalah kunci penciptaan lapangan kerja menengah yang stabil dan bergaji lebih baik.
3. Degradasi Lahan dan Hilangnya Basis Ekonomi Tradisional
Ekspansi masif tambang dan sawit sering kali terjadi di atas lahan yang sebelumnya menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lokal, seperti lahan pertanian, hutan, atau perkebunan rakyat.
Konversi Lahan: Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan konsesi tambang mengakibatkan konversi lahan pertanian subsisten, membuat petani kehilangan sumber utama pangan dan pendapatan mereka.
Dampak Lingkungan: Aktivitas tambang dan sawit berpotensi merusak sumber daya air dan kesuburan tanah. Hal ini secara langsung merugikan masyarakat perdesaan yang sangat bergantung pada ekosistem lokal untuk bertani atau mencari ikan.
Kemiskinan Perdesaan: Kelompok yang paling rentan adalah masyarakat perdesaan. Ketika lahan mereka hilang atau rusak, mereka tidak memiliki safety net ekonomi yang cukup dan terpaksa menjadi buruh upah harian dengan posisi tawar yang rendah.
Denganh demikian, Kemiskinan di Paser adalah cerminan dari kegagalan tata kelola sumber daya alam. Selama Paser hanya berfungsi sebagai tambang dan kebun besar tanpa pengolahan, kemakmuran hanya akan menyentuh permukaan, meninggalkan sebagian besar penduduknya dalam bayang-bayang kekayaan yang tidak mereka miliki. Kunci solusi terletak pada pergeseran radikal menuju diversifikasi ekonomi yang inklusif, memberdayakan warga lokal, dan memaksa industri ekstraktif untuk bertanggung jawab sosial dan lingkungan yang nyata. (tim redaksi nusaetamnews.com)