Stop Ngelaut, Welcome Ojol: Ketika Pembangunan Nge-Gusur Nelayan Pantur
Gresik, Jawa Timur, nusaetamnews.com : Janji surga investasi puluhan triliun dan puluhan ribu lapangan kerja di Pesisir Utara Jawa (Pantura) perlahan berubah jadi mimpi buruk. Alih-alih merasakan cuan ekonomi, warga kini berhadapan dengan banjir rob yang makin brutal, ekosistem rusak, dan ruang hidup tergusur.
Di Gresik, yang seharusnya jadi spot andalan nelayan, kondisinya justru menyayat hati. Sekelompok nelayan di Bale Gede Lumpur kini lebih sering ngopi ketimbang minyang (melaut). Mayoritas dari mereka, yang sudah turun-temurun mencari rezeki dari laut, terpaksa banting setir jadi pengemudi ojek online (ojol).
“Kami itu nelayan kecil, kalau dipaksa keluar zona pantai dan sungai, dan harus ke Laut Jawa, ya bunuh diri. Tapi namanya masyarakat kecil, ya tetap tertindas. Kalah,” keluh Isharul Munir, seorang nelayan dan pelestari mangrove berusia 47 tahun.
Dari 100 Nelayan Jadi 30 Orang: Krisis Ruang Tangkap
Isharul, yang sudah melaut sejak kelas 3 SD, mengonfirmasi krisis parah ini. Dulu, di masa ayahnya, ada lebih dari 100 nelayan di pesisir Manyar. Kini? Tersisa 30-an orang.
Alasan utama transisi profesi ini jelas dan menekan: ruang tangkap ikan (fishing ground) menyempit dan hasil tangkapan tidak lagi sepadan dengan biaya operasional.
Pemicu utamanya adalah reklamasi, pengurukan, dan pembangunan industri yang masif.
Situasi makin mencekik sejak proyek raksasa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE) Gresik seluas 2.167 hektare dimulai sekitar tahun 2016.
“Lebih parah lagi karena JIIPE juga melakukan reklamasi… Tahun ini bisa dilihat di peta, begitu pesatnya laju reklamasi di pesisir Gresik,” kata Isharul.
Dulu Panen 100 Kg, Kini Cuma Nggak Sampai 10 Kg!
Dampak pembangunan ini langsung menghantam dapur nelayan.
Isharul mengenang masa kejayaan, di mana sekali melaut ia bisa membawa pulang 100 kg ikan Blanak. Sekarang, rata-rata hasil tangkapan mereka seringkali tidak sampai 10 kg, bahkan mencapai 15 kg saja sudah sulit.
Perbandingan Penghasilan Nelayan Gresik | Dulu (Masa Jaya) | Sekarang (Pasca Pembangunan Industri) |
Hasil Tangkapan Ikan (Sekali Melaut) | 100 kg | 10 kg |
Pendapatan Bersih per Hari | Rp 600.000 | Rp 100.000 |
“Sekarang [pendapatan per hari] Rp 100.000 dan itu dipakai belanja ke pasar tidak cukup,” keluhnya. Bayangkan, dari Rp600.000 sehari, anjlok jadi hanya seratus ribu!
Ironi “Kepentingan Umum” dan Kritik Pedas Pakar Hukum
Pengembangan kawasan pesisir yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan kini beralih fungsi atas dalih booming pertumbuhan ekonomi. Namun, pakar hukum lingkungan UGM melihat ini sebagai “kongkalikong” antara pemerintah dan pebisnis yang mengatasnamakan “kepentingan umum,” namun ujung-ujungnya merugikan rakyat.
Inilah ironi pembangunan di Pantura: Puluhan triliun investasi datang, tetapi yang dirasakan masyarakat kecil bukanlah kemakmuran, melainkan penggusuran ruang hidup dan krisis lingkungan yang makin mengancam. (BBC/SW)
Apakah janji investasi dan lapangan kerja sebanding dengan pengorbanan ruang hidup dan kearifan lokal seperti nelayan di Pantura ini?