100 Hari Kinerja Gubernur Rudy Mas’ud: Dari Janji Manis ‘Gratispol’ hingga Tantangan Nyata di Tengah Pusaran IKN
Sejak dilantik, Gubernur Kalimantan Timur, H. Rudy Mas’ud, bersama Wakil Gubernur Seno Aji telah menggenapi masa 100 hari kepemimpinan. Periode awal ini, yang seringkali menjadi barometer arah kebijakan, diwarnai dengan peluncuran program unggulan yang populis seperti “Gratispol” dan fokus pada percepatan pembangunan di tengah status Kaltim sebagai serambi Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, bagaimana performa awal ini dilihat oleh pihak yang selama ini dikenal kritis dan memegang teguh semangat kerakyatan?
Untoro Raja Bulan, S.Pd., mantan aktivis mahasiswa dan NGO yang kini menjabat sebagai menduduki jabatan strategis di salah satu partai politik, memberikan pandangan mendalamnya. Untoro, yang lama berkecimpung dalam isu-isu lingkungan dan keadilan sosial, menyoroti bahwa euforia program populis harus sejalan dengan fondasi kebijakan yang kuat dan berpihak.
Wawancara Eksklusif dengan Untoro Raja Bulan
Setia Wirawan: Bapak Untoro, bagaimana Anda menilai 100 hari kinerja awal Gubernur Rudy Mas’ud, terutama dengan program unggulan Gratispol yang meliputi pendidikan gratis, layanan kesehatan, hingga seragam sekolah?
Untoro Raja Bulan (URB): Harus diakui, langkah awal ini cukup strategis dan populis. Program Gratispol berhasil menyentuh isu dasar yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pendidikan dan kesehatan. Survei menunjukkan tingkat kepuasan publik yang tinggi, dan itu adalah modal politik yang bagus.
Namun, concern utama saya sebagai mantan aktivis adalah pada aspek keberlanjutan dan kedalaman implementasi. Seberapa jauh jaminan gratis ini bisa dipertahankan di tengah keterbatasan APBD, apalagi jika dana bagi hasil dari IKN belum sepenuhnya terealisasi? Jangan sampai program ini hanya menjadi gimmick politik tanpa diikuti dengan peningkatan kualitas layanan yang signifikan.
Setia Wirawan: Anda menyinggung soal IKN. Kaltim kini berada di jantung proyek strategis nasional. Sejauh mana Pemprov Kaltim di bawah kepemimpinan Rudy Mas’ud mampu memanfaatkan momentum IKN untuk kesejahteraan Kaltim, bukan hanya sebagai ‘penonton’?
URB: Ini adalah tantangan terbesar. Kita lihat, narasi digital Pemprov sangat baik dalam mengomunikasikan capaian, tapi esensinya harus lebih dari itu. Kaltim perlu memastikan multiplier effect IKN betul-betul dirasakan oleh pelaku usaha lokal, terutama UMKM. Peluncuran Kaltim Digital Mart sebagai etalase daring produk lokal adalah langkah positif, tapi harus didukung dengan infrastruktur logistik dan pelatihan SDM yang masif.
Sayangnya, dalam 100 hari ini, saya belum melihat gebrakan signifikan terkait perlindungan lahan dan masyarakat adat di sekitar IKN yang terdampak langsung. Isu land grabbing dan konflik agraria adalah bom waktu. Gubernur harus berani bersuara lebih keras di tingkat pusat untuk memastikan keadilan bagi warga lokal yang lahannya masuk dalam kawasan penyangga IKN. Kepentingan investasi harus seimbang dengan hak-hak fundamental masyarakat Kaltim.
Setia Wirawan: Dari sisi birokrasi dan tata kelola pemerintahan, yang juga menjadi salah satu misi Gubernur, bagaimana evaluasi Anda?
URB: Komunikasi antarlembaga, khususnya dengan DPRD, terlihat harmonis. Itu bagus untuk stabilitas kebijakan. Namun, reformasi birokrasi harus lebih agresif. Kaltim masih membutuhkan terobosan untuk memangkas red tape perizinan, terutama yang berkaitan dengan investasi non-tambang.
Sebagai mantan aktivis, saya ingin melihat transparansi anggaran dan pelibatan publik yang lebih terbuka dalam proses perencanaan pembangunan, khususnya di sektor infrastruktur dan lingkungan. IKN membawa potensi korupsi yang tinggi, sehingga mekanisme pengawasan dan whistle-blowing harus diperkuat.
Setia Wirawan: Sebagai penutup, apa pesan atau rekomendasi kritis Anda kepada Gubernur Rudy Mas’ud untuk sisa masa jabatannya?
URB: Pesan saya: Jangan terlena dengan kepuasan publik di awal. Fokus kini harus bergeser dari popularitas ke substansi.
Pertama, Arahkan Ekonomi Kaltim Beyond Coal. Transisi energi harus segera diakselerasi. Kita tidak bisa terus bergantung pada batu bara. Kedua, Perkuat Ketahanan Pangan. Kaltim adalah daerah penyangga IKN, sehingga isu swasembada pangan harus menjadi prioritas, bukan hanya gimmick proyek. Ketiga, Wujudkan Keadilan Spasial. Pembangunan jangan hanya berpusat di kawasan penyangga IKN. Daerah pinggiran dan pedalaman Kaltim harus mendapatkan alokasi anggaran dan infrastruktur yang proporsional agar manfaat pembangunan dapat dirasakan secara merata. Rudy Mas’ud memiliki peluang emas. Kaltim membutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko untuk keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, bukan sekadar pelaksana proyek pusat. (setia Wirawan)
Ujian Berat di Tengah Ekspektasi Ganda
Analisis Untoro Raja Bulan menggarisbawahi tantangan kepemimpinan Rudy Mas’ud yang berjalan di atas dua rel: memenuhi janji populis (seperti Gratispol) dan menjadi manajer krisis/peluang IKN.
Tingginya tingkat kepuasan publik terhadap program 100 hari, sebagaimana dirilis berbagai lembaga survei, adalah cerminan dari keberhasilan komunikasi politik dan ketepatan program yang menyentuh kebutuhan dasar. Namun, seperti yang disoroti oleh Untoro, ke depan, Gubernur harus membuktikan bahwa janji ini bukan sekadar window dressing.
Kaltim, sebagai episentrum baru Indonesia, membutuhkan kebijakan yang sustainable dan just. Keberhasilan kepemimpinan Rudy Mas’ud tidak hanya diukur dari angka-angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kemampuannya meredam konflik sosial dan agraria, serta memastikan masyarakat Kaltim tidak terpinggirkan dalam pusaran megaprojek Ibu Kota Nusantara. (Setia Wirawan)